LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Selasa, Desember 29, 2009

Ditjen Pajak buka pengaduan

JAKARTA: Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengimbau wajib pajak (WP) yang mendapatkan pelayanan kurang atau tidak memuaskan untuk tidak segan mengadukan petugas pajak ke Pusat Pengaduan Pajak.

"Jika WP mendapatkan pelayanan kurang atau tidak memuaskan silakan menyampaikan keluhan ke Pusat Pengaduan Pajak melalui Kring Pajak 500200 atau website www.pengaduan.pajak.go.id," katanya dalam surat pengumuman No. PENG-3/PJ/2009 tertanggal 28 Desember 2009 yang diterima Bisnis kemarin

Bisnis Indonesia, 29 Desember 2009

Ditjen Pajak gencarkan Gijzeling mulai 2010

JAKARTA: Tahun depan Direktorat Jenderal Pajak akan semakin mengintensifkan upaya paksa badan (gijzeling) dengan menitipkan wajib pajak nakal ke lembaga pemasyarakatan guna mencairkan tunggakan pajak tahun depan yang ditargetkan sebesar Rp15,3 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan tahun depan pihaknya menargetkan pencairan tunggakan pajak sekitar Rp15,3 triliun atau 30% dari total outstanding tunggakan pajak saat ini yang berjumlah Rp51 triliun. "[Kebijakan pencairan tunggakan pajak] dari yang smooth sampai yang hard termasuk gijzeling. Gijzeling itu akan kami tingkatkan pada 2010," katanya pekan lalu.

Tahun ini, Tjiptardjo mengklaim telah berhasil mencairkan tunggakan pajak sebesar Rp18 triliun. "Pencairan tunggakan pajak akan jalan terus tahun depan. Biasanya kami punya target 30% dari total outstanding yang ada." Awal bulan ini, untuk pertama kalinya Tjiptardjo telah melakukan gijzeling terhadap eksekutif PT SDS, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri perhiasan di Surabaya. Menurut dia, pelaksanaan gijzeling tersebut sangat efektif dalam mencairkan tunggakan pajak.
Padahal, kebijakan gijzeling ini sebenarnya tidak pernah dilakukan semasa kepemimpinan Dirjen Pajak Darmin Nasution.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng sebelumnya meminta Ditjen Pajak bertindak selektif dalam menerapkan kebijakan gijzeling yakni hanya kepada wajib pajak yang tidak kooperatif.
"Paksa badan itu usaha terakhir kalau memang wajib pajak berniat melarikan diri atau tidak kooperatif, tetapi itu usaha terakhir," katanya.

Menurut dia, DPR dapat mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak apabila pelaksanaan gijzeling dilakukan tanpa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Sepanjang gijzeling dilakukan sesuai perundangan yang berlaku itu kewenangannya tapi kalau melanggar aturan kami bisa ajukan keberatan," tuturnya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, tindakan gijzeling merupakan langkah terakhir yang ambil pemerintah setelah melalui berbagai tahapan mulai dari proses penagihan, pemberian teguran, pencekalan, dan pemblokiran rekening.

Menurut Pengamat pajak dari FISIP UI Ruston Tambunan, berdasarkan pasal 33 Ayat 1 UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, tindakan paksa badan harus dipandang sebagai upaya terakhir yang dilaksanakan secara selektif dan hati-hati dan harus memenuhi syarat kuantitatif dan kualitatif.

Bisnis Indonesia, 29 Desember 2009

Senin, Desember 28, 2009

Penerapan Tax Refund Bertahap

JAKARTA - Penerapan pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi pembelian barang dalam negeri yang akan dibawa ke luar negeri (tax refund) oleh wisatawan asing mulai tahun depan tidak dilakukan serentak di wilayah Indonesia. Pada tahap awal implementasi aturan tax refund ini akan dilakukan di beberapa provinsi.

Jakarta dan Bali jadi proyek percontohan.
Menurut Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tak Langsung Lainnya, Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, untuk tahap awal, pihaknya telah mengajukan sejumlah provinsi sebagai pilot project aturan baru tersebut kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Beberapa provinsi yang sudah diajukan antara lain DKI Jakarta dan Bali.
"Ini baru pertama kali diterapkan, jadi akan disiapkan bertahap," kata Hestu dalam Diskusi dan Sosialisasi Revisi Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai di Jakarta, Sabtu lalu. Provinsi DKI Jakarta dan Bali dinilai merupakan daerah yang paling memungkinkan sebagai proyek percontohan.
Sedangkan untuk daerah lain yang akan menerapkan aturan ini, Hestu belum bersedia menjelaskan. "Nanti Menteri Keuangan yang memutuskan," katanya. Yang pasti, penerapan tahap awal ini diprioritaskan untuk daerah-daerah kunjungan wisata, terutama wisatawan asing.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang disahkan DPR pada September lalu, tax refund diberikan kepada turis asing dengan belanja minimal Rp 5 juta. Dengan ketentuan PPN 10 persen, pengembalian kepada mereka sebesar Rp 500 ribu.
Selain itu, aturan yang diyakini bisa menjadi insentif pajak untuk menarik minat wisatawan asing berkunjung ke Indonesia itu akan diterapkan pada transaksi turis asing di toko-toko tertentu yang telah terseleksi. Kualifikasi toko itu masih dalam pengkajian. "Contohnya, toko penjual harus telah memiliki sistem teknologi informasi," katanya.
Menurut Hestu, Direktorat Jenderal Pajak juga telah melakukan kajian pembanding terhadap penerapan aturan serupa di negara lain, seperti Singapura, Australia, dan Jepang. Kajian pembanding ini untuk mencari patokan yang pas pada mekanisme pengajuan pengembalian pajak ini. "Nanti diatur dalam peraturan menteri keuangan," ujarnya.
Direktorat Jenderal Pajak berencana bekerja sama dengan Dinas Pariwisata agar aktif mensosialisasi tax refund ini. Apalagi penerapan tax refund ini agar dunia pariwisata Indonesia tidak kalah bersaing dengan pariwisata asing, terutama di negara-negara terdekat. Dengan menerapkan kebijakan tax refund, Indonesia berupaya mengurangi jarak daya saing dengan Singapura.
Sementara itu, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Aziz mendesak pemerintah agar bisa menerapkan tax refund dalam waktu dekat. "Hanya Indonesia yang belum menetapkan," kata Harry. Apalagi jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 42, penerapan aturan ini mulai April 2010.

Koran Tempo, 22 Desember 2009

Ditjen Pajak Beri Insentif Turis Asing

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan menerapkan insentif perpajakan kepada wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia mulai 1 April 2010 di sejumlah bandar udara (bandara). “Insentif akan diterapkan di sejumlah bandara yaitu di Jakarta dan Bali, diharapkan sebelum 1 April 2010 sudah siap,” kata Kepala Sub Direktorat Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, Estu Yoga Saksama dalam sosialisasi UU 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) di Jakarta, Sabtu hingga Minggu.

Dia mengatakan pemberian insentif itu diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia. “Mengenai masalah ini akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK),” katanya.

Selama ini sejumlah negara seperti Jepang, Australia, dan Singapura sudah menerapkan insentif perpajakan bagi para wisman yang berkunjung ke negara itu. “Kita pelajari mana yang terbaik. Kami juga akan bekerjasama dengan Ditjen Perbendaharaan, dengan toko-toko yang memenuhi kualifikasi tertentu,” katanya.

Menanggapi usulan agar wisman yang berkunjung ke Batam juga diberikan insentif, Yoga mengatakan, tidak perlu karena Batam sebagai kawasan ekonomi khusus sudah bebas PPN.

Berdasar UU tentang PPN dan PPnBM, orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat meminta kembali PPN dan PPnBM yang sudah dibayarkan atas pembelian barang kena pajak yang dibawa keluar daerah pabean.

PPN dan PPnBM yang dapat diminta kembali itu harus memenuhi tiga syarat antara lain nilai PPN paling sedikit Rp500 ribu, pembelian barang kena pajak itu dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sebelum keberangkatan keluar daerah pabean. Permintaan kembali PPN dan PPnBM itu dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Ditjen Pajak di bandara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sementara itu Ketua Badan Anggaran DPR, Harry Azhar Azis mengatakan, dalam pembicaraan/pembahasan RUU itu di DPR, muncul usulan agar insentif perpajakan itu dilakukan secara resiprokal. “Saat pembicaraan, ada usulan agar dilakukan secara resiprokal dengan negara-negara lain yang menerapkan insentif seperti itu,” kata Harry yang juga menjadi anggota Pansus RUU PPN dan PPnBM DPR.

Namun secara umum, tujuan pemberian insentif adalah memang untuk menarik kunjungan wisman ke Indonesia. “Ditjen Pajak perlu merancang pilot project sehingga pada saatnya dapat berjalan dengan baik,” katanya.

Medan Bisnis, 21 Desember 2009

Turis Asing Bebas PPN

Jakarta, Kompas - Wisatawan mancanegara mendapatkan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau PPnBM minimal Rp 500.000 mulai 1 April 2010. Aturan ini berlaku jika nilai barang yang dibeli turis asing tersebut minimal Rp 5 juta per orang.

”Saat ini kami tengah menggodok aturan pelaksana (dari Undang-Undang PPN dan PPnBM) berupa peraturan menteri keuangan. Pada pelaksanaannya, kami akan menggunakan tolok ukur dari berbagai negara yang sudah menerapkan fasilitas ini, baik Singapura, Jepang, maupun China,” ujar Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Perdagangan dan PTLL Direktorat Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama di Jakarta, Sabtu (19/12).

Hestu berbicara dalam Diskusi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM yang digelar Departemen Keuangan. Aturan tentang pengembalian PPN kepada turis asing itu ditetapkan dalam Pasal 16 Huruf E UU No 42/2009. Untuk sementara, pemberlakuan insentif ini pada beberapa bandar udara tertentu, yakni Soekarno-Hatta dan I Gusti Ngurah Rai, Denpasar.

Dalam Pasal 16 Huruf E itu ditetapkan, dokumen yang perlu ditunjukkan turis asing yang menghendaki pengembalian PPN dan PPnBM adalah paspor, pas naik (boarding pass), dan faktur pajak. Seorang turis asing hanya diperkenankan meminta pengembalian PPN dan PPnBM untuk barang yang dibeli maksimal satu bulan sebelum tanggal pemberangkatan ke luar negeri.

”Jika barang itu dibelinya lebih dari satu bulan, kami anggap turis asing itu sudah mengonsumsinya di dalam negeri sehingga wajar dikenai PPN atau PPnBM. Sebab, pengembalian pajak ini didasarkan atas prinsip bahwa pemerintah hanya boleh memajaki warga negaranya sendiri,” ujar Hestu.

Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengatakan, pemerintah sebaiknya menetapkan beberapa bandar udara yang menjadi pintu gerbang lalu lintas turis asing sebagai proyek percontohan pengembalian pajak ini, seperti Jakarta, Batam, Yogyakarta, dan Bali.

Pengamat pajak dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Danny Septriadi, mengatakan, selain pengembalian pajak kepada turis asing, poin krusial dalam UU PPN dan PPnBM yang baru adalah ketentuan tentang pengembalian pajak lebih bayar atau restitusi. Beberapa poin baru itu antara lain pemberian fasilitas pengembalian pajak pendahuluan kepada beberapa wajib pajak tertentu dan wajib pajak yang dikategorikan patuh.

Harian Kompas, 21 Desember 2009

2010, Turis Asing Terima Tax Refund

JAKARTA-Pemerintah akan memberikan tax refund atau pengembalian uang yang dibayarkan turis asing yang berkunjung ke Indonesia dan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui barang yang dibeli.

Kepala Sub Direktorat Perpajakan I, Dirjen Pajak Depkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta, dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali akan menjadi proyek percontohan (project pilot) pertama diterapkannya tax refund yang berlaku mulai April 2010.

Hal ini seiring dengan berlakunya amandemen UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan diberlakukan pada April 2010 sesuai dengan penerapan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang pajak penjualan atas barang mewah.

Rencananya Bandara Udara Soekarno Hatta Jakarta akan menjadi yang pertama menerapkan tax refund yang kemudian disusul dengan Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Bali.

“Pemerintah belum bisa siapkan secara penuh tax mengenai tax refund di seluruh bandara. Namun tahun 2010 baru Jakarta dan Bali saja yang memang sudah diusulkan oleh Menkeu kepada Dirjen Pajak,” ujarnya dalam sosialisasi UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPn dan Pajak Penjualan Barang Mewah di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, akhir pekan lalu.

Kendati begitu, lanjut Hestu, penerapan tax refund di Bali juga memang belum final dan belum bisa dipastikan. “Yang jelas Jakarta pasti lah, kita sudah usulkan Bali juga jadi ditunggu saja,” tambahnya.

Suara Merdeka, 21 Desember 2009

2 Bandara Nasional Bakal Terapkan Proyek Tax Refund

JAKARTA - Bandara Soekarno Hatta dan I Gusti Ngurah Rai bakal menjadi proyek percontohan penerapan proyek Tax Refund dari Pajak Pertambahan Nilai. Rencananya, proyek ini akan mulai berlaku pada bulan April 2010 mendatang.

Tax Refund ini akan diberlakukan kepada Wisatawan Mancanegara agar menjadi daya tarik kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Kebijakan tersebut sudah ditetapkan dalam UU No 42 tahun 2009 tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

"Pemerintah belum bisa menetapkan Tax Refund secara penuh di seluruh Bandara. Tapi tahun 2010 baru Soekarno Hatta dan Ngurah Rai yang sudah diusulkan Menkeu ke Dirjen Pajak" ujar Kepala Sub Direktorat Perpajakan I, Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, dalam sosialisasi UU No 42 tahun 2009 tentang PPN Bm di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Sabtu (19/12/2009) sore.

Untuk Bandara Soekarno Hatta pemberlakuan Tax Refund tersebut hampir dapat dipastikan, namun untuk Bandara Ngurah Rai saat ini sedang dalam tahap finalisasi. Sebagai langkah sosialisasi, Ditjen Pajak melakukan kerjasama dengan Dinas Pariwisata.

"Kita akan minta Dinas Pariwisata untuk iklan sosialisasinya" tambahnya

Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Anggaran DPR RI Harry Azhar Azis menegaskan bahwa peraturan Tax Refund tersebut harus segera diterapkan mengingat hanya Indonesia yang belum merealisasikan hal tersebut.

"Jika UU No 42 tahun 2009 ini sudah berlaku pada 2010 mendatang, maka tidak ada lagi kendali karena UU-nya sudah jelas" tutur Harry.

Okezone.com, 20 Desember 2009

Hak Ekslusifnya Hilang, Telkom Dapat Kompensasi

JAKARTA. Pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) kepada PT Telekomunikasi Indonesia (Persero). Fasilitas pembebasan pajak hingga maksimal Rp 250 miliar itu untuk kompensasi terminasi dini hak eksklusif PT Telekomunikasi Indonesia (Persero).
Siaran pers Departemen Keuangan, Selasa (22/12), menyebutkan bahwa dengan demikian Telkom akan kehilangan hak eksklusifnya sebagai penyedia jasa telekomunikasi domestik mulai tahun 2010 tanpa dibebani pajak apa pun.

Kebijakan pembebasan pajak itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 182/PMK.011/2009 tentang PPh Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Eksklusif PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk Tahun Anggaran 2009.

PMK itu menyebutkan, pemerintah menyetujui untuk membayar kompensasi atas terminasi dini hak eksklusif Telkom sebesar Rp 478 miliar setelah pajak, ini wajib dibayar maksimal dalam waktu lima tahun sejak 2005. Pembayaran kompensasi ditetapkan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 20 November 2003.

Hak eksklusif Telkom adalah hak yang diberikan pemerintah Indonesia hanya kepada Telkom untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap Sambungan lokal hingga tahun 2010 dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) hingga tahun 2005.

Kontan Online, 22 Desember 2009

Minggu, Desember 27, 2009

Peraturan Terbaru SPT Orang Pribadi 1770-SS

Saat ini, tentu banyak di antara pembaca yang sudah memiliki NPWP, baik yang dengan sukarela mendaftarkan diri, maupun yang “terpaksa”. Namun bagaimana pun cara mendaftarnya, yang pasti, kewajiban melapor SPT di Bulan Maret nanti tetap harus dijalankan.

Kali ini, informasi yang saya dapatkan adalah, khusus untuk SPT Tahunan Orang Pribadi sangat sederhana, yaitu formulir dengan kode 1770-SS, mengalami perubahan aturan penggunaannya. Sebelumnya, peraturan yang menjadi petunjuk penggunaan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tanggal 4 Juni 2009, tentang SPT PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Penggunaannya. Dalam peraturan tersebut tidak disebutkan adanya batasan penghasilan dalam penggunaan SPT yang dimaksud.

Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-34/PJ/2009 itu mengalami revisi dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-66/PJ/2009 tanggal 21 Desember 2009, tentang Perubahan atas PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Penggunaannya. Dalam peraturan terbaru itu, ditetapkan adanya batasan maksimal penghasilan bagi orang pribadi yang akan menggunakan formulir 1770-SS. Batas penghasilan itu adalah sebesar Rp.60.000.000,00. Lengkapnya, berikut ini saya “copy paste”kan perubahan di pasal 2 peraturan yang disebutkan tadi.

Perubahan di Pasal 2
(1) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan/atau bunga koperasi adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

(2) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Formulir 1770 SS maka Formulir 1721-A1 dan/atau Formulir 1721-A2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS).


Nah, para pembaca, silakan Anda meneruskan informasi ini kepada saudara atau teman-teman lain yang belum memperoleh informasi ini. Jangan lupa untuk meminta bukti potong 1721-A1 (untuk karyawan swasta) atau 1721-A2 (untuk PNS, anggota Polri, dan anggota TNI), kepada bagian gaji atau bendahara di tempat para pembaca bekerja.

Ingat, Formulir SPT untuk tahun ini tidak lagi dikirimkan ke rumah. Kita harus mengambilnya langsung di Kantor Pajak terdekat, atau lokasi-lokasi lain yang ditentukan.

Wass.

Jumat, November 20, 2009

PKP Dihapuskan dari Kawasan Perdagangan Bebas

Assalamualaikum.
Salam jumpa kembali para pembaca yang saya hormati.

Cukup lama saya terpaksa absen menyajikan tulisan, karena kesibukan yang sangat menyita waktu. Kali ini, ada topik yang lumayan asyik untuk disajikan, yaitu adanya aturan baru tentang pencabutan PKP (Pengusaha Kena Pajak) di kawasan perdagangan bebas, atau yang lazim disebut kawasan bebas.

Tanggal 7 September 2009 yang lalu, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan aturan terbarunya yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-50/PJ./2009 tentang Tata Cara Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Tata Cara Penerbitan Surat Keputusan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang bagi Pengusaha Kena Pajak yang Tempat Kegiatan Usaha atau Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang di Kawasan Bebas. Peraturan Dirjen Pajak ini sebenarnya merupakan Peraturan Pelaksana dari Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.03/2009.

Beberapa kawan masih sering bertanya, apa sih yang dimaksud dengan kawasan bebas? Definisi kawasan perdagangan bebas atau sering disebut kawasan bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, PPN, PPnBM, dan Cukai.

Nah, dalam peraturan Dirjen Pajak yang baru ini, ditegaskan bahwa sejak tanggal 1 April 2009, pengusaha yang berada di kawasan bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Itu artinya bahwa semua pengusaha di kawasan bebas tidak memiliki kewajiban yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai.

Lalu bagaimana dengan para pengusaha yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak?

Dalam peraturan baru itu, disebutkan bahwa PKP akan dicabut pengukuhannya secara bertahap paling lama tanggal 31 Maret 2010. Pencabutan tersebut akan dilakukan secara jabatan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar, dengan didahului oleh proses penelitan untuk memastikan bahwa seluruh hak dan kewajiban PKP telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan.

Nah, untuk para pembaca yang kebetulan memiliki usaha di kawasan bebas, segera hubungi Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang peraturan baru ini.

Wass,
Elang

Senin, September 21, 2009

Sumbangsihku Pada Negeri

Sesekali di hari libur, di sela-sela kesibukan kerja, saya sempat berjalan-jalan dengan keluarga. Kadang hanya berjalan tanpa tujuan, sekedar untuk melepas penat dan rasa lelah serta melupakan sejenak masalah pekerjaan. Seringkali, dalam perjalanan singkat tersebut, terasa, begitu luar biasanya negeri ini. Di wilayah kecil yang kami lewati saja, tampak betapa suburnya negeri ini, apalagi di wilayah nusantara lain yang lebih luas....

Tetapi seringkali, ketika kami melewati satu sisi tempat yang lain, terasa betapa tersayatnya hati ini. Anak-anak pengemis meminta di persimpangan jalan kota besar, dan rumah-rumah reot dan bahkan rumah kardus beratapkan jembatan kokoh, menjadi tempat tinggal saudara kita. Jalan-jalan rusak banyak kami jumpai di sepanjang perjalanan, dan yang tidak kalah menyengat hati, banyak dijumpainya bangunan sekolah dengan kualitas yang bahkan, kalah dibandingkan kandang sapi milik saudara kami di kampung. Karena itu, kami tidak heran ketika ada berita di televisi yang mengabarkan ada bangunan SD di suatu tempat yang rubuh. Lalu, bertambah perih hati ini, mendengar berita hadirnya kelaparan di beberapa wilayah negeri ini. Wow, apa yang terjadi pada negeri ini...???

Sedih...? Tentu saja. Tapi cukupkah hanya dengan sedih? Tentu tidak. Harus ada sesuatu yang kita lakukan. Itulah sebabnya, tulisan ini saya titipkan di tempat ngerumpi pajak. Ya..salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan membayar pajak, selain tentu saja zakat bagi yang beragama Islam.

Apakah ada pesan khusus dari petinggi pajak kepada saya untuk menuliskan pesan ini? Tentu tidak. Saya tidak mengenal satupun petinggi instansi tersebut. Tapi hati saya terketuk untuk menulis, kala terlihat kemiskinan yang masih ada di negeri subur ini.

Saudaraku, tidak perlu kita menyalahkan siapa pun atas semua kondisi yang telah terjadi. Yang perlu kita lakukan adalah, marilah bersama-sama memperbaiki semua kondisi ini. Agaknya, mulai hari, kita perlu merubah apa yang ada dalam benak kita, sebagai pembayar pajak. Kita tidak lagi membayar pajak karena takut atas sanksi dan hukuman, tetapi lebih pada keinginan kita membantu beberapa bagian dari negeri ini yang masih memerlukan uluran tangan kita, selain tentu saja untuk menjaga kelanjutan pembangunan di negeri ini.

Tetapi apakah sumbangsih ini hanya dilakukan oleh para pembayar pajak? Tentu tidak. Dalam tulisan ini, penulis juga ingin berpesan pada pembesar negeri ini, berikan juga sumbagsih terbaikmu pada Indonesia tercintaku! Menduduki jabatan tinggi bukanlah bentuk sumbangsih, tetapi tidak lebih dari mencari nafkah bagi keluarga. Sumbagsih terbaik adalah, hentikan korupsi kalian. Jangan gunakan uang yang susah payah dikumpulkan para pembayar pajak, hanya untuk kemakmuran keluarga kalian sendiri. Hentikan juga semua cara-cara kotor untuk mendapatkan jabatan, seperti menyogok. Kalian tidak perlu lagi berdusta dengan mengatakan ini semua hanya fitnah. Dusta kalian hanya akan menambah beban hidup, sekaligus memperbesar peluang Anda semua untuk menerima azab dan hukuman dari Allah SWT. Kalau Anda memegang uang untuk membuat jalan, janganlah mengambil untuk membangun rumah kalian. Jika itu kalian lakukan, yakinlah, bahwa suatu saat rumah itu akan menghancurkan kebahagiaan kalian! Kepada para pembayar pajak, awasi para pejabat tersebut. Jangan sampai mereka melakukan dosa, yang jelas lebih besar dari dosa para pencuri ayam. Walaupun seandainya KPK dihancurkan, atau jika UU anti korupsi diputarbalikkan menjadi UU Pelindung Koruptor, tapi jika kita semua bergerak dalam satu langkah, para pejabat korup itu bisa kita basmi bersama-sama. Ingat, marilah kita lunasi pajaknya dan kita awasi penggunaannya oleh para pejabat negara (dan tentu saja, juga oleh para anggota DPR yang terhormat).

Penulis sangat yakin, jika sumbangsih terbaik sudah diberikan, baik oleh para pembayar pajak, maupun para pejabat negeri, Indonesiaku akan menjadi lebih baik. Marilah Saudaraku semua. Sumbangsih kita semua akan mengurangi air mata di negeri ini dan menambah senyum anak cucu kita nanti.

Selamat Idul Fitri 1 Swayal 1430 H.

Wassalam,

Elang, 23 September 2009

Jumat, Agustus 21, 2009

Tax payer Identification Number (NPWP)

The Tax Identification Number (NPWP) is a number issued to taxpayers by the tax ofice to identify taxpayers and to assist them in fulfiling their tax rights and obligations. (Article 1 - paragraph (6) Law No. 28 Year 2007). Taxpayer shall be obligated to register at the tax office in the district in which the taxpayer reside (Article 2-paragraph (1) and (2) Law No. 28 Year 2007) by submiting the folowing documents:
  1. Registration and change of data form
  2. Copy of passport or Resident Identity Card (KTP)
  3. Copy of limited stay permit card (KITAS)
  4. Copy of work permit (for taxpayer who is an employee)
  5. Copy of tax identification number of the employer (for taxpayer who is an employee)
  6. Power of atorney (if his/her registration process is done by another party)
  7. Copy of business permit (for taxpayer who is conducting business or an independent professional)

15 Poin UU Pokok Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah. Hari ini RUU tersebut rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Ketua Pansus RUU PDRD DPR Harry Azhar Azis mengatakan ada 15 kesepakatan yang berhasil disepakati oleh pemerintah dan DPR dan menjadi draft final RUU PDRD tersebut.

Satu, pansus DPR sepakat perubahan jumlah pasal dari naskah awal RUU PDRD yakni dari 18 bab dan 164 pasal menjadi 18 bab dan 165 pasal.

Dua, pajak provinsi dibagi menjadi 5 jenis yakni pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaran bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok.

“Pajak rokok adalah pajak baru provinsi dibagihasilkan ke kabupaten/kota,” kata Harry dalam siaran pers yang diterima, Selasa (18/8/2009).

Tiga, pajak kendaraan bermotor menggunakan pola pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya dengan tarif 2% sampai maksimal 10%. Ketentuan progresivitasnya ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tarif 2%.

Ketentuan baru lainnya yaitu ear marking (alokasi penggunaan) wajib dilakukan Pemda minimal 10% dari hasil penerimaan pajak ini untuk belanja infrastruktur jalan dan transportasi umum di daerahnya.

“Diharapkan pertumbuhan penyediaan sarana jalan dan transportasi umum nanti men jadi seimbang dengan pertumbuhan konsumsi penggunaan kendaraan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” tambah Harry.

Empat, tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan maksimal 10% bagi kendaraan pribadi, kendaraan umum 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi. Bila terjadi kenaikan harga tinggi atas BBM, peme rintah pusat dapat mengubah besaran tarif Perda melalui Perpres, kebijakan ini untuk mendorong fasilitas kendaraan umum lebih besar.

Lima, pajak air permukaan, nomenklatur baru dari UU No.34/2000 yaitu pajak pengambilan dan pemanfatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak air tanah dipungut kabupaten/kota. Pajak air permukaan dipungut provinsi, air permukaan yang hanya di satu kabupaten/kota berlaku aturan khusus.

Enam, pajak rokok sebagai pajak baru disetujui dipunguit instansi pemerintah yang berwenang, pemungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok untuk meningkatkan sumber pendapatan asli daerah. Pajak rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014.

Dasar penggunaan pajak rokok adalah, cukai yang ditetapkan pemetintah terhadap rokok, tarif pajak rokok disepakati 10% dari cukai rokok. Hasil penerimaan sebesar70% untuk kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi. “Untuk itu baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota wajib dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat berwenang,” jelas Harry.

Tujuh, pajak kabupaten/kota disepakati menjadi 11 jenis yakni: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Delapan, Tarif pajak hiburan khususnya hiburan mewah seperti panti pijat/spa ditetapkan maksimal 75%. “Pola tarif hiburan ini mirip dengan pola tarif PPnBM atau Pajak Penjualan Barang Mewah yang diatur UU lain,” kata Harry.

Sembilan, pajak bumi dan bangunan (PBB) pedesaan dan perkotaan disepakati menjadi pajak kabupaten/kota melalui pembahasan alot dan panjang.

BPHTB juga disepakati menjadi pajak kabupaten/kota. Ketentuan PBB selain perkebunan, perhutanan, dan pertambangan yang diatur UU No.12/1986tentang PBB telah diubah UU Np.12/1994 serta peraturan pelaksanaannya, dinyatakan tetap berlaku sampai 31 Desember 2013.

Sepuluh, pajak lingkungan usul pemerintah akhirnya ditarik kembali dan disetujui usul pemerintah agar substansi pajak lingkungan masuk dalam retribusi perizinan tertentu.

Sebelas, pajak sarang burung walet disetujui jadi pajak jenis baru, kabupaten/kota yang tidak memiliki potensi industri sarang burung walet tidak diperkenankan memungutnya.

Dua belas, usul pajak telepon disepakati menjadi retribusi jasa umum bernama retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Pemerintah kabupaten/kota yang memungut retribusi ini berkewajiban atas pengendalian tata ruang dan keamanan menara telekomunikasi.

Tiga belas, usul ERP (Electronis Road Pricing ) dari pemerintah akhirnya dihapus, agar tidak menambah beban masyarakat karena infrastruktur mengatasi kemacetan jalan dianggap belum siap.

Empat belas, insentif pemungutan pajak daerah disetujui dengan pola UU tata cara dan ketentuan umum perpajakan, insentif untuk pemungut pajak diberikan bila tercapai kinerja tertentu dari instansi pemungut yang ditetapkan APBD. Tata cara insentif diatur Peraturan Pemerintah (PP).

Lima belas, selain pajak provinsi dan kabupaten/kota, disepakati juga jenis retribusi yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Pajak atau retribusi ini disepakati bersifat tertutup, artinya Pemda tidak boleh membuat pajak atau retribusi di luar UU ini sehingga iklim investasi dan usaha makin sehat.

Sumber: Harian Analisa (20 Agustus 2009)

Kamis, Agustus 20, 2009

Pemerintah Perluas Wajib Pajak Berbasis Profesi

Kamis, 20 Agustus 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Naiknya target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), membuat pemerintah semakin jeli melihat potensi penerimaan negara. Khususnya, penerimaan pajak yang berasal dari setoran masyarakat alias wajib pajak (WP) kepada negara.

Terkait itu, mulai tahun depan, pemerintah akan memperluas objek WP berbasis profesi dalam kepatuhan membayar pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tahun depan, tidak hanya WP yang berprofesi sebagai dokter, artis, dan pengacara saja yang didorong untuk lebih taat membayar pajak. "Pendekatan juga berlaku bagi profesi seperti notaris, akuntan, dan profesi lainnya," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Kamis (20/8).

Selain itu, pemerintah juga akan mengincar pada pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf atawa pekerja.

Sri Mulyani mengakui,, kegiatan ekstensifikasi pajak tersebut dilakukan dalam rangka mencapai target penerimaan perpajakan 2010. "Pemerintah akan melanjutkan reformasi pajak," sambungnya.

RAPBN 2010 menyebutkan, target penerimaan negara dari pajak dalam negeri termasuk cukai mencapai Rp 702,03 triliun.

Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa mengatakan, DPR menyerahkan sepenuhnya teknis ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk mencapai target penerimaan pajak kepada pemerintah.
(Martina Prianti/Kontan)

Bila Piutang Pajak Tidak Ditagih

Trust No. 41, Tahun VII, 2009, 20 Agustus 2009

Belum seminggu menjabat sebagai direktorat jenderal pajak, Mochamad Tjiptardjo sudah dikejutkan dengan temuan kejanggalan terkait piutang pajak yang berpotensi merugikan keuangan negara. Tidak tanggung-tanggung, dari hasil penelitiannya itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan selisih piutang pajak yang tak tertagih pada 2008 lalu sebesar Rp 1,464 triliun. Potensi kerugian negara itu dilansir ICW pada akhir Juli silam dalam suatu hasil penelitian terhadap piutang pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 26.

Perlu diketahui, PPh pasal 21 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa jabatan atau kegiatan (active income) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Sementara PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) luar negeri selai bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Dari hasil penelitian itu, jelas Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko terkuak bahwa, jika dibandingkan dari hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2008 yang diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan selisih piutang pajak yang sangat besar.

Selisih piutang pajak ini, tegasnya, diperoleh berdasarkan penelitian ICW terhadap 374 perusahaan terbuka (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI), dan ternyata hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil audit LKPP 2008. Bearti, jika dijumlahkan dari kedua instrument pasal dalam PPh itu terdapat selisih ebesar Rp 1,464 triliun yang berpoteni merugikan keuangan negara. “Piutang pajak ini yang perlu ditagih,” tandasnya.

Berdasarkan hasil audit LKPP 2008, tercatat piutang pajak PPh Pasal 21 nilainya sebesar Rp 1,229 triliun. Sedangkan dalam laporan keuangan perusahaan terbuka (listing) di BEI nilainya sebesar Rp 1,908 triliun. Jadi untuk PPh Pasal 21 terdapat selisih sebesar Rp 678,7 miliar.

Tidak hanya itu, ICW juga menemukan selisih pada penghitungan PPh Pasal 26. Masih dalam LKPP 2008 sebagai pembandingnya, tercatat piutang pajak yang disajikan dalam LKPP sebesar Rp 125,1 miliar, sedangkan pada data perusahaan terbuka di BEI tercatat piutang pajaknya sebesarnya Rp 911,3 miliar sehingga terdapat selisih Rp 786,2 miliar.

Jika dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan terbuka, ternyata piutang pajak (PPh 2 dan PPh 26) pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam LKPP 2008 lebih rendah atau understated selisihnya mencapai Rp 1,464 triliun.

Danang menduga kemungkinan penyebab terdapat selisih mengenai data piutang pajak antara LKPP 2008 dengan laporan keuangan perusahaan terbuka (listing) di BEI lantaran data di Ditjen Pajak masih bisa dimanipulasi. “Perlu ada pembenahan dan perbaikan di sisi teknologi informasi Ditjen Pajak,” katanya.

Dalam LKPP pada 31 Desember 2008 lalu tercatat piutang pajak pada DJP sebesar Rp 45,173 triliun, sekitar 60,48% disumbang dari perusahaan terbuka. Bahkan, lebih parah lagi masih dari LKPP 2008 tercatat ada juga tunggakan piutang pajak perusahaan besa senilai Rp 12,943 triliun yang sudah berumur lebih dari lima tahun. Sebenarnya, optimalisasi penerimaan pajak bukanlah masalah sulit, tinggal konsistensi dan kemauan politik dari pemerintah saja (Dirjen Pajak). Disarankan pula, jabatan dirjen kini agar lebih transparan serta akuntabilitas dalam pengelolaan dan pelaporan penerimaan pajak negara.

DARI CONSUMER GOOD HINGGA INFRASTRUKTUR

Selain itu, dari laporan keuanga per 31 Desember 2008 yang dilaporkan ke otoritas bursa, ICW mencatat ada 10 perusahaan terbuka yang listing (tercatat) di BEI dinilai sebagai pengutang pajak terbesar ke pemerintah pada 2008. Dari 10 perusahaan itu terbagi menjadi beberapa bidang sesuai dengan industri bisnisnya.

Dari sisi sektor industri consumer good, tercatat pengutang pajak terbesar kepada pemerintah adalah HM Sampoerna sebesar Rp 3,455 triliun. Disusul sebuah perusahaan mi instant sebesar Rp 598,091 miliar, rokok (Rp 563,496 miliar), kebutuhan sehari-hari sebesar Rp 320,447 miliar, dan sebuah perusahaa farmasi sebesar Rp 17,9 miliar.

Untuk sektor perbankan, dari data 2007 lalu tercatat pengutang pajak terbesar yakni tiga bank milik pemerintah yang mencapai Rp 4,046, triliun, dan dua bank swasta sebesar Rp 263 iliar.
Sedangkan untuk sektor pertambangan, dari data 2008, terdapat lima pengutang pajak dengan total sekitar Rp 4,003 triliun.

Sementara, di sektor telekomunikasi terdapat tiga perusahaan yang utang pajaknya sekitar Rp 1,370 triliun. Di bidang infrastruktur, ada sebuah perusahaan pengelolajalan tol dengan utang pajak sebesar Rp 145,52 miliar. Utang pajak sebesar Rp 147,263 miliar ditunggak oleh sebuah perusahaan produsen gas.

Menanggapi tudingan itu, Direktur Corporate Affairs PT HM Sampoerna Tbk, Yos Adiguna Ginting, membantah. Ia menyatakan pihaknya telah melunasi tagihan pajak per 31 Maret 2009 lalu. Sesuai ketentuan Pemerintah Indonesia mengenai tanggal jatuh tempo masing-masing jenis pajak, manajemen PT HM Sampoerna Tbk. menegaskan bahwa perusahaan telah membayar seluruh kewajiban utang pajak dan cukai tersebut di atas pada tanggal 31 Maret 2009.

Hal ini diperkuat dengan laporan keuangan konsolidasi PT HM Sampoerna Tbk. pada kuartal I tahun 2009, pada halaman 5/23 mengenai perpajakan (utang pajak dan cukai).

Yos mengakui, memang dalam laporan keuangan konsolidasi PT HM Sampoerna Tbk. Tahun 2008 pada halaman 5/23 mengenai perpajakan (utang pajak dan Cukai), Sampoerna memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan cukai 2008 sebesar Rp 3,44 triliun. Namun, laporan keuangan itu, sudah disampaikan secara transparan dan dilaporkan kepada Bapepam. “Sudah dilunasi,” tegasnya yakin.

Kepatuhan Wajib Pajak di Jakpus Masih Relatif Rendah

Harian Umum Pelita , 20 Agustus 2009

Jakarta, Tingkat kepatuhan wajib pajak daerah yang meliputi pajak hotel, restoran dan hiburan di Jakarta Pusat (Jakpus) hingga kini masih relatif rendah, padahal kontribusi penerimaan pendapatan asli daerah ini untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya terus meningkat secara signifikan.

Hal ini mendorong pihak Kantor Pelayanan Pajak I dan II Jakpus melakukan sosialisasi perpajakan.

Kenaikan kontribusi pajak daerah terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, setiap tahunnya terus meningkat secara signifikan. Hal ini akibat Jakarta tidak memiliki potensi sumber daya alam, kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Jakarta, Reynalda Madjid, saat mensosialisasikan peraturan perpajakan terhadap 400 wajib pajak (WP) di Aula Dinas Pelayanan Pajak, Jl Abdul Muis, Jakpus, kemarin.

Untuk tahun 2009 ini, kata Reynalda Madjid, dari APBD sebesar Rp21 triliun, 44,2 persen atau sebesar Rp9,3 triliun bersumber dari penerimaan pajak daerah. Pada tahun 2008, dari APBD Provinsi sebesar Rp20,6 triliun 42,2 persen atau sebesar Rp8,7 triliunnya dari APBD, dan pada tahun sebelumnya 2007, dari APBD yang dipatok sebesar Rp18,6 triliun, 38,7 persen atau Rp7,2 triliun dari pajak daerah.

Dengan pajak daerah menjadi sebagai tulang punggung dan komponen terpenting dari penerimaan asli daerah (PAD) yang sangat berpengaruh pada APBD, membuat aparat perpajakan harus terus menerus mencari terobosan dalam peningkatan pajak. Karenanya juga diharapkan para wajib pajak menyadari kewajiban masing-masing untuk mendukung berjalannya roda pemerintahan dan membiayai pembangunan.

Kepala Suku Dinas (Sudin) Pelayanan Pajak I, H Krisna, dan Kepala Sudin Pelayanan Pajak II, H Heru Wibisono, memaparkan, potensi objek pajak di Jakpus berjumlah 1.580 objek terdiri dari Hotel sebanyak 272, restoran sebanyak 1.179 dan hiburan sebanyak 129. Untuk kegiatna sosialisasi perpajakan ini yang diundang sebanyak 400 objek pajak terdiri dari 255 restoran, 90 hotel, dan 55 pengusaha hiburan.

Wakil Walikota Jakpus Aep Syarifudin, saat membuka kegiatan sosialisasi ini meminta aparat jajaran perpajakan jangan pesimis dan harus berupaya keras menggali potensi-potensi pajak yang belum tersentuh. Jajaran perpajakan jangan hanya menunggu wajib pajak membayar pajak, tapi harus proaktif mendatangi potensi yang bandel. Juga harus jeli mengamati mana sumber yang memiliki potensi dan bisa digali, tegasnya.

Daerah Menuntut Empat Pajak Utama


Harian Kompas, 20 Agustus 2009

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah menuntut agar ada empat jenis pajak pusat yang diserahkan ke daerah. Hal itu dianggap sesuai dengan makna desentralisasi, yakni melimpahkan kewenangan pemerintah pusat ke daerah, termasuk pengelolaan dana-dana yang dihimpun dari berbagai sumber penerimaan.

Hal tersebut diungkapkan Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita dalam lampiran pidato yang disampaikannya di Jakarta, Rabu (19/8) pada Sidang Paripurna yang mengagendakan Pidato Kenegaraan Presiden RI tentang Pembangunan Nasional dalam Perspektif Daerah dalam Rangka Pembahasan Rancangan APBN 2010.

Menurut Ginanjar, daerah sebaiknya memiliki hak untuk mengelola empat jenis pajak utama dan mendapatkan kompensasi lebih besar dari pemerintah pusat. Pertama, semua Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kedua, pajak dari izin mendirikan bangunan. Ketiga, Pajak Penghasilan (PPh). Keempat, pajak pemanfaatan sumber-sumber daya alam di daerah.

Di samping itu, skema Dana Bagi Hasil (DBH)—salah satu jenis transfer ke daerah dari pemerintah pusat—perlu ditinjau ulang. Selain DBH pertambangan, energi, kehutanan, dan perikanan, daerah juga membutuhkan DBH Perkebunan.

”Dengan demikian, daerah yang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan perkebunan, seperti Sumatera Utara, Riau, dan provinsi di Kalimantan, dapat mengelola bagi hasil perkebunannya. Bagi hasil juga perlu diatur untuk komoditas cengkeh dan tembakau,” ujar Ginanjar.

Ditolak

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pihaknya tidak akan memberikan pengelolaan PPh kepada daerah. Tuntutan daerah yang bisa dipenuhi hanyalah menambah jenis DBH.

Tahun 2010, pemerintah memastikan akan menambah jenis DBH, yakni DBH cukai khusus untuk Nusa Tenggara Barat dan DBH Panas Bumi.

”Kalau PPh tidak akan pernah (diserahkan ke daerah), kecuali dana bagi hasil. Dana transfer berbentuk DBH itu adalah sesuatu yang sifatnya kontekstual dan dinamis. Jadi, kalau dulu atau sampai sekarang ada beberapa sumber daya alam yang paling penting, mungkin pada saat yang akan datang akan berbeda. Hal itu nanti yang akan bisa dibuat,” ujarnya.

Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi

Harian Kompas, 20 Agustus 2009

Kecilnya kenaikan anggaran dalam APBN 2010 dibandingkan dengan anggaran sebelumnya mengisyaratkan pemerintah mulai kesulitan mencari sumber pembiayaan. Besarnya kenaikan anggaran itu hanya sekitar Rp 3,8 triliun (Kompas, 4/8/2009).

Untuk memperbesar sumber pembiayaan negara pada tahun 2010, pemerintah, antara lain, berupaya meningkatkan pendapatan dari pajak. Direncanakan, penerimaan pajak tahun 2010 akan ditingkatkan menjadi Rp 729 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 661 triliun (Kompas, 6/8/2009).

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat krisis finansial global, kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak itu dinilai kurang tepat oleh banyak pihak. Alasannya, kenaikan pajak akan semakin melemahkan kemampuan usaha/ perusahaan dan berpotensi mengalami kebangkrutan. Pada gilirannya, kebijakan menaikkan pajak justru kian memperparah dampak krisis finansial global.

”Trade-off” pajak

Dengan gulung tikarnya perusahaan, otomatis jumlah usaha/perusahaan berkurang sehingga penerimaan pajak ikut berkurang. Dampak lainnya, melemahnya daya beli masyarakat sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Maka, ada trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan pemerintah. Bahkan, semakin tinggi kenaikan pajak berpotensi semakin menurunkan pendapatan pemerintah. Ada dua faktor yang mendasari terjadinya trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, yakni efek aritmatika dan ekonomi.

Efek aritmatika menunjukkan kenaikan pendapatan negara yang semakin besar akibat kenaikan pajak yang semakin tinggi. Celakanya, efek aritmatika itu akan mengalami titik jenuh lalu berbalik menjadi efek negatif terhadap penerimaan negara. Sebab, kenaikan pajak akan menimbulkan efek ekonomi yang kian besar jika kenaikan pajak semakin tinggi. Konkretnya, semakin tinggi pajak akan semakin melemahkan aktivitas ekonomi yang pada gilirannya semakin menurunkan penerimaan pemerintah.

Keterkaitan antara kenaikan pajak dan penerimaan pendapatan itu bisa divisualisasikan dengan Kurva Laffer (Arthur B Laffer, The Laffer Curve: Past, Present, and Future, 2004). Kurva itu menggambarkan, jika besarnya pajak sebesar nol persen, tidak ada pendapatan pemerintah dari pajak sehingga pemerintah kesulitan dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

Sebaliknya, jika pajak ditetapkan sebesar 100 persen, seluruh pendapatan masyarakat akan menjadi pendapatan pemerintah. Namun, hampir dapat dipastikan, jika pajak 100 persen, tidak akan ada penduduk yang bekerja dan/ atau melakukan aktivitas ekonomi. Atas dasar itu, besarnya pajak harus berada 0-100 persen.

Namun, pajak yang semakin mendekati angka nol atau seratus tidak akan menguntungkan ketiga pilar sekaligus: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Sebab, dengan pajak yang kian mendekati nol atau seratus akan semakin menurunkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesempatan kerja (Laffer, 2004).

Penetapan pajak

Maka, dengan mencermati trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, pemerintah perlu menetapkan pajak yang tidak terlalu membebani usaha/perusahaan, tetapi berpotensi meningkatkan penerimaan pemerintah atas pajak dan memacu pertumbuhan ekonomi.

Langkah seperti itu ternyata telah lama dipraktikkan Amerika Serikat melalui proxy pajak pendapatan. Diketahui, besarnya pajak pendapatan di negara Paman Sam itu pernah mencapai angka 94 persen pada tahun 1944. Presiden John F Kennedy kemudian berupaya menurunkannya menjadi 70 persen tahun 1965. Atas penurunan pajak itu, hasil evaluasi menunjukkan naiknya pendapatan negara dengan rata-rata 9,0 persen per tahun akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, Presiden Ronald Reagan berupaya kembali menurunkan besarnya pajak pendapatan dari 70 persen menjadi 50 persen tahun 1981. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi meningkat rata-rata 4,8 persen per tahun selama 1983-1986 daripada periode sebelumnya (1978-1982) dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen per tahun (Laffer, 2004).

Kebijakan menurunkan pajak pada era kepemimpinan Barack Obama terus berlanjut tetapi dengan perumusan berbeda. Adapun kebijakan pajak yang dijalankan adalah menaikkan pajak orang kaya dan menurunkan pajak untuk yang lain. Kebijakan ini amat menguntungkan penduduk berpendapatan rendah. Setelah dipotong pajak, penduduk berpendapatan terendah akan menikmati kenaikan pendapatan sebesar 2,4-5,5 persen, sedangkan pendapatan penduduk kaya akan berkurang 8,7 persen. Secara keseluruhan, terjadi penurunan pajak sekitar 0,3 persen atau setara dengan 160 dollar AS (CNNMoney.com, 11/6/2009).

Adapun alasan utama diterapkan kebijakan pajak itu adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat proporsi penduduk berpendapatan rendah di AS amat besar dibandingkan dengan penduduk kaya sehingga amat potensial dalam menggerakkan ekonomi.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan kenaikan pajak. Sebab, selain berpotensi menurunkan penerimaan negara, peningkatan pajak juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, yang akan memperberat dampak krisis finansial global.

Sebenarnya, masih cukup ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menaikkan pajak. Sesuai saran banyak pihak, pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi pajak bukan dengan membuat pajak baru, tetapi dengan menemukan potensi yang hilang akibat transaksi ekonomi, yang pada tahun 2010 diperkirakan berjumlah Rp 280 triliun (Kompas, 6/8/2009).

Pemerintah Sudah Anulir 3.455 Perda

Kontan Online, 20 Agustus 2009

JAKARTA. Makin banyak saja peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Hingga pertengahan Agustus 2009 ini, pemerintah sudah membatalkan 3.455 perda yang mengatur pajak dan retribusi daerah. Soalnya, beleid tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat iklim investasi di daerah.

Tak hanya itu, Pemerintah juga menolak 1.727 rancangan perda (raperda). "Perda yang dibatalkan dan raperda yang ditolak tersebut, terutama pungutan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, serta pertanian," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di Sidang Khusus Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Rabu (19/8).

Jumlah perda yang dianulir tersebut melonjak dibanding posisi Desember 2008 lalu. Waktu itu, Pemerintah baru membatalkan 2.779 perda bermasalah. Ini berarti, dalam tempo delapan bulan saja, Pemerintah sudah membatalkan lagi 676 perda Adapun jumlah raperda yang ditolak baru mencapai 1.476.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perda yang dibatalkan dan ditolak juga berupa pungutan di bidang budaya dan pariwisata, pekerjaan umum, kesehatan, serta kehutanan.

Kebanyakan merupakan bikinan pemda di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Timur. Jadi, "Tolong kalau bikin perda jangan yang macam-macam dan cari-cari masalah," ujar dia.

Nah, Presiden menyatakan, untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, pemerintah akan terus menghapuskan berbagai pungutan daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Selain itu, Pemerintah juga merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang sudah disetujui dan disahkan DPR pada Selasa (18/8) lalu.

Dengan UU PDRD yang baru, Presiden menjelaskan, penetapan jenis pajak dan retribusi daerah bersifat closed list atau daftar tertutup. Artinya, harus mengacu pada ketentuan undang-undang. Karena itu, "Saya menginstruksikan agar daerah memanfaatkan UU PDRD sesuai rambu-rambu yang ada, sehingga tidak menimbulkan beban yang berlebihan bagi pelaku ekonomi," ujar Presiden.

Sejak otonomi daerah, pemda punya kewenangan untuk memungut pajak. Tujuannya, untuk mendongkrak kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhan pengeluarannya. Tapi, Presiden mengingatkan, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), tetap harus mengacu pada prinsip menjaga keselarasan dengan kewenangan dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Menkeu memperkirakan, pada 2011 mendatang atau tahun pertama pelaksanaan UU PDRD, peran PAD terhadap APBD provinsi akan meningkat menjadi 63% dari semula hanya 50% di 2009. Sedang peranan PAD kabupaten dan kota akan naik menjadi 10% dari sebelumnya 7%. "Kondisi ini akan semakin baik pada 2014, kalau semua daerah telah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan menerapkan tarif maksimum," kata Sri Mulyani.

UBS Siap Buka Data Nasabah Pengemplang Pajak

Detik Finance, 20 Agustus 2009

Zurich - Bank-bank Swiss dikenal dengan keteguhannya dalam memegang data rahasia nasabah-nasabahnya. Termasuk nasabah-nasabah yang diduga mengemplang pajak. Pemerintah AS pun sempat dibuat kesal oleh masalah tersebut.

Namun kini pemerintah AS bisa berlega hati karena berhasil mencapai kesepakatan dengan pemerintah Swiss untuk membuka sejumlah informasi dari para pengemplang pajak AS yang memiliki rekening di UBS.

"Kesepakatan itu akan membuat IRS menerima sejumlah informasi yang belum pernah diterima sebelumnya tentang nasabah-nasabah yang memiliki neraca di UBS," jelas International Revenue Service dan Departemen Kehakiman AS dalam pernyataan bersamanya, seperti dikutip dari AFP, Kamis (20/8/2009).

Berdasarkan kesepakatan itu, informasi tentang sekitar 4.450 rekening nasabah UBS milik warga AS akan mulai diserahkan kepada pemerintah AS.

"Kesepakatan ini mempertahankan hak pemerintah AS, jika hasilnya secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan dan hal-hal lainnya gagal untuk mencari penyelesaian judisial yang selayaknya, termasuk mengambil langkah untuk mendorong kepatuhan masyarakat," demikian pernyataan bersama tersebut.

Pekan lalu, pemerintah AS dan UBS melakukan finalisasi atas penyelesaian di luar pengadilan untuk mengakhiri masalah kerahasiaan pajak yang sangat sensitif. Di bawah UU Kerahasiaan Perbankan Swiss, bank-bank di Swiss dilarang untuk membocorkan setiap informasi tentang nasabahnya kepada pemerintah atau pihak ketiga. Kecuali dalam kasus yang menyangkut kriminal.

Swiss dan UBS mendapatkan tekanan dari AS setelah kasus penggelapan pajak muncul di pengadilan Florida tahun lalu. Pada Juli 2008, UBS mengumumkan telah menghentikan sementara jasa perbankan di luar negeri untuk warga AS sehubungan dengan adanya penyidikan tersebut.

IRS dan Departemen Kehakiman AS menyatakan bahwa proses kesepakatan itu akan dimulai dengan permintaan IRS kepada pemerintah Swiss untuk mendeskripsikan rekening-rekening yang akan dicari informasinya. Pemerintah Swiss selanjutnya meminta UBS untuk memberikan informasi tersebut kepada IRS.

"IRS akan menerima informasi atas rekening dari berbagai jumlah dan tipe," demikian pernyataan tersebut.

Sesaat setelah mencapai kesepakatan tersebut, pemerintah Swiss juga sepakat untuk menjual 9% sahamnya di UBS.

"Pemerintah telah memutuskan untuk segera mengakhiri komitmennya ke UBS," ujar Departemen Keuangan Swiss.

Berdamai dengan pajak progresif ?

Bisnis Indonesia, 19 Agustus 2009

Dorongan bagi produsen menggarap pasar ekspor

DPR kemarin menyetujui RUU Nomor 34 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Salah satu poin penting dalam UU yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2010 ini adalah pajak progresif kendaraan bermotor.

Kalangan pelaku industri otomotif menilai kebijakan ini akan membunuh industri otomotif nasional. Ketentuan ini dikhawatirkan akan menghancurkan pasar otomotif domestik karena permintaan mobil bakal merosot.

Kekhawatiran ini tentunya didasarkan pada latar belakang diterbitkannya RUU PDRD tersebut yang memang bertujuan untuk membatasi volume kendaraan bermotor di Tanah Air. Itu artinya sama saja dengan membatasi penjualan mobil.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah upaya mengendalikan penambahan jumlah kendaraan bermotor ini bakal bisa berjalan efektif ? Jawabnya, tergantung seberapa sempurna perangkat aturan pelaksanaannya dibuat, sehingga tidak ada kesempatan bagi konsumen untuk mencari celah dalam mengakali ketentuan tersebut.

Jika aturannya hanya berdasarkan data nama pemilik kendaraan, niscaya kebijakan ini tidak akan efektif. Alasannya, si pemilik kendaraan (pertama) bisa menggunakan nama orang lain-paling tidak anggota keluarganya-untuk kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengan memakai nama orang lain, maka si pemilik mobil akan lolos dari perangkap pajak progresif.

Strategi mencari sasaran dengan 'radar' nama ini sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak 2005 yang diperkuat dengan perda, tetapi perda tersebut terbukti tidak efektif.

Guna memperkuat perangkap, dalam UU PDRD objek sasaran nantinya tidak hanya berdasarkan nama semata, tapi juga berdasarkan data kartu keluarga (KK). Dengan bekal data KK tersebut, si pemilik mobil tidak bisa memakai nama orang yang ada di KK sebagai pemilik kendaraan kedua dan seterusnya, guna menghindari pajak progresif.

Perangkap KK ini memang sudah lebih kuat ketimbang hanya berdasarkan nama, tapi tetap punya kelemahan. Si pemilik mobil masih bisa menyiasati perangkap tersebut, dengan cara memakai nama orang lain yang tidak tercantum di KK.

Lalu, bagaimana caranya supaya UU PDRD ini bisa berjalan efektif? Tampaknya belum ada instrumen yang paling pas, kecuali jika sistem nomor identitas tunggal (single identity number) sudah diterapkan di Indonesia.

Kembali ke persoalan kepanikan pelaku otomotif terhadap anjloknya pasar mobil akibat pajak progresif, saya menilai itu sebagai kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Fakta membuktikan bahwa Pemprov DKI Jakarta yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan pajak progresif ternyata tidak mampu membendung masyarakat untuk membeli mobil.

Polemik dan kontroversi seputar implementasi pajak progresif sebaiknya disudahi saja. Jangan saling kecam dan saling tuding. Mengapa tidak saling berangkulan saja di antara pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut ?

Alangkah indahnya jika kita sama-sama saling membenahi diri. Di satu sisi pemerintah harus membenahi manajemen transportasi guna mengatasi kemacetan lalu lintas, dengan cara menambah ruas jalan dan strategi umur kendaraan tertentu. Masalah ini memang sudah mendesak diatasi sejak dulu, dengan ataupun tanpa UU PDRD. Kondisi kemacetan, khususnya di Jakarta, sudah sangat kronis. Dana hasil pajak progresif harus benar-benar diaplikasikan untuk mengatasi masalah tadi, dan harus diawasi oleh pemerintah daerah, meski alokasi dana untuk infrastruktur jalan relatif kecil, hanya 10% dari total penerimaan pajak progresif.

Genjot ekspor

Pada sisi lain, pelaku industri otomotif juga harus berupaya memperbesar porsi ekspor sebagai kompensasi berkurangnya pasar di dalam negeri sebagai dampak dari implementasi UU PDRD ini. Itu pun jika memang terjadi kemerosotan pasar.

Justru inilah momentum yang tepat bagi para pelaku untuk membuktikan bahwa industri otomotif nasional bukan jago kandang. Industri otomotif Indonesia harus bisa membuktikan mampu bersaing di tingkat regional, bahkan internasional.

Memang, ekspor kendaraan bukan hal mudah. Apalagi hingga kini ATPM (Agen tunggal pemegang merek) masih sangat bergantung pada prinsipal. Untuk ekspor pun masih diberi kuota, termasuk negara tujuan yang ditentukan oleh prinsipal.

Kondisi ini terbentuk karena prinsipal menguasai segalanya, baik modal maupun teknologi. Sejumlah ATPM yang sebagian sahamnya semula masih dimiliki oleh mitra lokal, kini secara perlahan saham mereka mulai 'dicaplok' oleh prinsipal. Bahkan ada beberapa ATPM yang 100% sahamnya sudah dikuasai prinsipal.

Dengan menguasai mayoritas saham, posisi prinsipal menjadi begitu dominan terutama dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Posisi CEO pun dipegang mereka, sedangkan para profesional lokal hanya diberi posisi direktur atau deputi direktur. Tak heran jika setiap pernyataan yang dilontarkan oleh petinggi ATPM notabene mewakili suara prinsipal.

Sudah saatnya ATPM bersikap dan berani menyampaikan pendapat kepada prinsipal. Di sinilah kepiawaian petinggi lokal ATPM diuji.

Mampukah mereka berdiplomasi dan bernegosiasi dengan prinsipal untuk bisa diberi keleluasaan untuk mengekspor kendaraan. Petinggi ATPM harus punya posisi tawar yang tinggi terhadap prinsipal, sehingga tidak terus-menerus didikte oleh prinsipal.

Prinsipal otomotif sudah cukup puas menikmati pasar Indonesia yang gemuk. Kinilah saatnya prinsipal membantu ATPM menembus pasar-pasar baru di manca negara.

Berdasarkan data Gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo), porsi ekspor kendaraan Indonesia hanya berkisar 10% hingga 20% dari total penjualan domestik. Angka ini masih terlalu kecil bagi sebuah industri yang mengklaim diri sebagai industri yang sudah mandiri.

Menyoal Pajak Final Konstruksi

Harian Ekonomi Neraca , 19 Agustus 2009

Salah satu kiat pemerintah menutup anggaran adalah pengenaan pajak final pada jasa konstruksi. Namun pajak ini berpotensi mengurangi keuntungan emiten konstruksi. Pajak merupakan sumber pemasukan utama bagi negara, tak terkecuali Indonesia, untuk menutupi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Jadi wajar jika pemerintah pantang surut semangat dalam menggali berbagai potensi penerimaan pajak.

Salah satu upaya meningkatkan pendapatan pajak adalah dengan mengenakan pajak final pada para pengusaha jasa konstruksi. Inilah yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Usaha Jasa Konstruksi.

Dalam aturan teknis tersebut yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK.03/2008 termuat berbagai Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan PPh atas Penghasilan Jasa Konstruksi. Dengan beleid dari Menteri Keuangan itu, Direktorat Jenderal Pajak pun akan menggali pajak dari para pengusaha jasa konstruksi lebih mudah.

Sekedar diketahui, dalam PMK ini, pemerintah mengenakan tarif PPh final yang berlaku bagi jasa konstruksi mulai 2% hingga 6%. Tarif 2 % untuk jasa konstruksi golongan usaha kecil. Sedangkan bagi usaha menengah dan besar, tarif PPh final 3%. Namun, bagi usaha menengah dan besar yang belum punya sertifikasi usaha akan terkena tarif 4%. Untuk kegiatan jasa perencanaan dan penga-wasan konstruksi, mereka yang bersertifikat usaha terkena tarif PPh 4%. Sedangkan tarif tertinggi sebesar 6%, bagi penyedia jasa perencanaan dan pengawasan yang tidak bersertifikat. Tentu saja penerapan pajak final konstruksi ini tidak mengenakkan bagi pengusaha, karena otomatis margin keuntungannya bakal terpankas. Tak heran ketika awal-awal sosialisasi pengenaan pajak final ini banyak pengusaha jasa konstruksi menolaknya. Alasan pengusaha konstruksi, peraturan ini kurang adil, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang. Selain itu, pengusaha menilai aturan ini tidak tidak memperhitungkan kerugian pengusaha jasa konstruksi setelah selesai mengerjakan proyek. Sebab,dengan peraturan ini, baik rugi atau untung semua akan kena pajak yang sama.

Selain itu, pengenaan pajak ini berpotensi mengurangi potensi keuntungan yang bakal diraih emiten dari insentif pajak sebagai perusahaan terbuka. Memang sebagaimana digariskan dalam PP No.81/2007 Tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang berbentuk Perseroan Terbuka, perusahaan yang menjual sahamnya ke publik hingga 40% akan mendapat insentif berupa pemotongan PPh badan 5% dari 30% menjadi 25%.

Sebelum pemberlakuan baru ini, perhitungan PPh badan mengacu pada perolehan laba perusahaan. Sementara itu, perhitungan pajak final akan mengacu pada perolehan pendapatan usaha. Nah, dengan demikian, logika saya, kalau kalau pajak final ini dikenakan, emiten konstruksi tentu saja tak menikmati potongan pajak 5%.

Saya sendiri kurang paham apakah pemberlakuan pajak final tersebut kemudian berakibat pada kinerja emiten atau tidak. Namun, lemyata hingga semester I-2009, para emiten konstruksi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), ternyata masih mampu membukukan kinerja relatif positif, terutama duo BUMN, PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk.

Apakah ini berarti pajak final ternyata tak terbukti memangkas laba emiten kosntruksi? Nampaknya kita perlu ditunggu hingga akhir tahun.

Dampak Pajak Daerah Mulai Terasa 2011

Koran Tempo, 19 Agustus 2009

Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran daerah meningkat.

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dampak penerapan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang disahkan kemarin, terhadap peningkatan pendapatan asli daerah mulai terasa pada 2011. Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran daerah tingkat provinsi maupun kabupaten sama-sama meningkat pada 2011.

Peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran provinsi pada 2011 diprediksi mencapai 63 persen dibanding saat ini, yang baru sekitar 50 persen. Sedangkan peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran kabupaten dan kota juga meningkat menjadi 10 persen dari semula 7 persen.

"Secara nasional peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah naik dari 19 persen menjadi 24 persen," kata Sri Mulyani saat menyampaikan paparan pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam sidang paripurna DPR kemarin.

Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah akan terus meningkat dalam lima tahun mendatang. Pada 2014, peran pendapatan asli daerah itu menjadi 68 persen untuk provinsi dan 15 persen untuk kabupaten dan kota. Secara nasional peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah juga meningkat menjadi 29 persen.

Perkiraan peningkatan pendapatan ini terjadi jika semua daerah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan tarif maksimum. Tapi Sri mengingatkan, penerapan undang-undang baru ini agar memperhatikan waktu yang tepat dan disesuaikan dengan kemampuan pelaku ekonomi di daerah. "Penerapannya tidak boleh menimbulkan beban berat pada seluruh pelaku ekonomi," katanya.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah menjamin pengawasan pajak dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Pemerintah akan mengevaluasi rancangan peraturan daerah sebelum disahkan. Jika rancangan itu bertentangan dengan undang-undang, pemerintah berhak membatalkan. "Ini untuk mencegah pungutan daerah bermasalah," katanya.

Peraturan baru ini, kata dia, memperbaiki tiga hal, yakni penyempurnaan sistem pemungutan pajak dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan, serta peningkatan efektivitas pengawasan. "Sehingga, peningkatan pendapatan asli daerah dilakukan dengan tetap konsisten terhadap prinsip perpajakan yang baik dan tepat," katanya.

Menyikapi pengesahan undang-undang ini, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan siap menyusun peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana undang-undang tersebut. Selain itu, penertiban peraturan daerah yang tak sesuai dengan undang-undang akan dilakukan.

Mantan Gubernur Jawa Tengah itu mengaku tidak mau mengobral janji tentang kesiapan daerah melaksanakan peraturan baru ini. Pemerintah, kata dia, sudah memiliki aturan, termasuk sanksi. Karena itu, penguatan kapasitas aparat daerah perlu dilakukan, terutama dalam kegiatan pemungutan. agoeng wijaya

Pemerintah Jamin Kalangan Industri

Jakarta - Pemerintah menjamin kalangan industri bisa terhindar dari dampak buruk yang mungkin terjadi setelah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diterapkan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, undang-undang baru ini pasti berdampak terhadap industri, terutama otomotif. Karena itu, pemerintah tetap mengontrol penerapan undang-undang ini agar tidak menjatuhkan bisnis.

"Kalau industri sampai jatuh, pemerintah sendiri yang akan rugi," kata Sri Mulyani di Jakarta kemarin. Pemerintah akan mengawasi dan memperhitungkan secara keseluruhan dampak undang-undang terhadap perekonomian. Salah satu yang akan dilakukan adalah mengevaluasi setiap rancangan peraturan daerah sebelum disahkan menjadi peraturan.

Selain menjamin kalangan industri, penerapan undang-undang ini diharapkan bisa mendorong usaha, termasuk usaha mikro kecil dan menengah. "Kami minta pemerintah mengawasi sehingga potensi daerah meningkat," kata Risman Tony saat memaparkan pandangan Fraksi Golongan Karya di DPR.

Risman mengingatkan undang-undang pajak daerah ini tidak mengakomodasi rencana pemberlakuan pajak lingkungan. Akibatnya, pajak lingkungan pada masa mendatang tetap dipungut dan diatur oleh pemerintah daerah lewat retribusi. "Kami juga minta pengawasan retribusi lingkungan di daerah," katanya.