LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Kamis, Agustus 20, 2009

Berdamai dengan pajak progresif ?

Bisnis Indonesia, 19 Agustus 2009

Dorongan bagi produsen menggarap pasar ekspor

DPR kemarin menyetujui RUU Nomor 34 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Salah satu poin penting dalam UU yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2010 ini adalah pajak progresif kendaraan bermotor.

Kalangan pelaku industri otomotif menilai kebijakan ini akan membunuh industri otomotif nasional. Ketentuan ini dikhawatirkan akan menghancurkan pasar otomotif domestik karena permintaan mobil bakal merosot.

Kekhawatiran ini tentunya didasarkan pada latar belakang diterbitkannya RUU PDRD tersebut yang memang bertujuan untuk membatasi volume kendaraan bermotor di Tanah Air. Itu artinya sama saja dengan membatasi penjualan mobil.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah upaya mengendalikan penambahan jumlah kendaraan bermotor ini bakal bisa berjalan efektif ? Jawabnya, tergantung seberapa sempurna perangkat aturan pelaksanaannya dibuat, sehingga tidak ada kesempatan bagi konsumen untuk mencari celah dalam mengakali ketentuan tersebut.

Jika aturannya hanya berdasarkan data nama pemilik kendaraan, niscaya kebijakan ini tidak akan efektif. Alasannya, si pemilik kendaraan (pertama) bisa menggunakan nama orang lain-paling tidak anggota keluarganya-untuk kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengan memakai nama orang lain, maka si pemilik mobil akan lolos dari perangkap pajak progresif.

Strategi mencari sasaran dengan 'radar' nama ini sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak 2005 yang diperkuat dengan perda, tetapi perda tersebut terbukti tidak efektif.

Guna memperkuat perangkap, dalam UU PDRD objek sasaran nantinya tidak hanya berdasarkan nama semata, tapi juga berdasarkan data kartu keluarga (KK). Dengan bekal data KK tersebut, si pemilik mobil tidak bisa memakai nama orang yang ada di KK sebagai pemilik kendaraan kedua dan seterusnya, guna menghindari pajak progresif.

Perangkap KK ini memang sudah lebih kuat ketimbang hanya berdasarkan nama, tapi tetap punya kelemahan. Si pemilik mobil masih bisa menyiasati perangkap tersebut, dengan cara memakai nama orang lain yang tidak tercantum di KK.

Lalu, bagaimana caranya supaya UU PDRD ini bisa berjalan efektif? Tampaknya belum ada instrumen yang paling pas, kecuali jika sistem nomor identitas tunggal (single identity number) sudah diterapkan di Indonesia.

Kembali ke persoalan kepanikan pelaku otomotif terhadap anjloknya pasar mobil akibat pajak progresif, saya menilai itu sebagai kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Fakta membuktikan bahwa Pemprov DKI Jakarta yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan pajak progresif ternyata tidak mampu membendung masyarakat untuk membeli mobil.

Polemik dan kontroversi seputar implementasi pajak progresif sebaiknya disudahi saja. Jangan saling kecam dan saling tuding. Mengapa tidak saling berangkulan saja di antara pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut ?

Alangkah indahnya jika kita sama-sama saling membenahi diri. Di satu sisi pemerintah harus membenahi manajemen transportasi guna mengatasi kemacetan lalu lintas, dengan cara menambah ruas jalan dan strategi umur kendaraan tertentu. Masalah ini memang sudah mendesak diatasi sejak dulu, dengan ataupun tanpa UU PDRD. Kondisi kemacetan, khususnya di Jakarta, sudah sangat kronis. Dana hasil pajak progresif harus benar-benar diaplikasikan untuk mengatasi masalah tadi, dan harus diawasi oleh pemerintah daerah, meski alokasi dana untuk infrastruktur jalan relatif kecil, hanya 10% dari total penerimaan pajak progresif.

Genjot ekspor

Pada sisi lain, pelaku industri otomotif juga harus berupaya memperbesar porsi ekspor sebagai kompensasi berkurangnya pasar di dalam negeri sebagai dampak dari implementasi UU PDRD ini. Itu pun jika memang terjadi kemerosotan pasar.

Justru inilah momentum yang tepat bagi para pelaku untuk membuktikan bahwa industri otomotif nasional bukan jago kandang. Industri otomotif Indonesia harus bisa membuktikan mampu bersaing di tingkat regional, bahkan internasional.

Memang, ekspor kendaraan bukan hal mudah. Apalagi hingga kini ATPM (Agen tunggal pemegang merek) masih sangat bergantung pada prinsipal. Untuk ekspor pun masih diberi kuota, termasuk negara tujuan yang ditentukan oleh prinsipal.

Kondisi ini terbentuk karena prinsipal menguasai segalanya, baik modal maupun teknologi. Sejumlah ATPM yang sebagian sahamnya semula masih dimiliki oleh mitra lokal, kini secara perlahan saham mereka mulai 'dicaplok' oleh prinsipal. Bahkan ada beberapa ATPM yang 100% sahamnya sudah dikuasai prinsipal.

Dengan menguasai mayoritas saham, posisi prinsipal menjadi begitu dominan terutama dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Posisi CEO pun dipegang mereka, sedangkan para profesional lokal hanya diberi posisi direktur atau deputi direktur. Tak heran jika setiap pernyataan yang dilontarkan oleh petinggi ATPM notabene mewakili suara prinsipal.

Sudah saatnya ATPM bersikap dan berani menyampaikan pendapat kepada prinsipal. Di sinilah kepiawaian petinggi lokal ATPM diuji.

Mampukah mereka berdiplomasi dan bernegosiasi dengan prinsipal untuk bisa diberi keleluasaan untuk mengekspor kendaraan. Petinggi ATPM harus punya posisi tawar yang tinggi terhadap prinsipal, sehingga tidak terus-menerus didikte oleh prinsipal.

Prinsipal otomotif sudah cukup puas menikmati pasar Indonesia yang gemuk. Kinilah saatnya prinsipal membantu ATPM menembus pasar-pasar baru di manca negara.

Berdasarkan data Gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo), porsi ekspor kendaraan Indonesia hanya berkisar 10% hingga 20% dari total penjualan domestik. Angka ini masih terlalu kecil bagi sebuah industri yang mengklaim diri sebagai industri yang sudah mandiri.

Tidak ada komentar: