LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Jumat, Agustus 21, 2009

Tax payer Identification Number (NPWP)

The Tax Identification Number (NPWP) is a number issued to taxpayers by the tax ofice to identify taxpayers and to assist them in fulfiling their tax rights and obligations. (Article 1 - paragraph (6) Law No. 28 Year 2007). Taxpayer shall be obligated to register at the tax office in the district in which the taxpayer reside (Article 2-paragraph (1) and (2) Law No. 28 Year 2007) by submiting the folowing documents:
  1. Registration and change of data form
  2. Copy of passport or Resident Identity Card (KTP)
  3. Copy of limited stay permit card (KITAS)
  4. Copy of work permit (for taxpayer who is an employee)
  5. Copy of tax identification number of the employer (for taxpayer who is an employee)
  6. Power of atorney (if his/her registration process is done by another party)
  7. Copy of business permit (for taxpayer who is conducting business or an independent professional)

15 Poin UU Pokok Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah. Hari ini RUU tersebut rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Ketua Pansus RUU PDRD DPR Harry Azhar Azis mengatakan ada 15 kesepakatan yang berhasil disepakati oleh pemerintah dan DPR dan menjadi draft final RUU PDRD tersebut.

Satu, pansus DPR sepakat perubahan jumlah pasal dari naskah awal RUU PDRD yakni dari 18 bab dan 164 pasal menjadi 18 bab dan 165 pasal.

Dua, pajak provinsi dibagi menjadi 5 jenis yakni pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaran bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok.

“Pajak rokok adalah pajak baru provinsi dibagihasilkan ke kabupaten/kota,” kata Harry dalam siaran pers yang diterima, Selasa (18/8/2009).

Tiga, pajak kendaraan bermotor menggunakan pola pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya dengan tarif 2% sampai maksimal 10%. Ketentuan progresivitasnya ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tarif 2%.

Ketentuan baru lainnya yaitu ear marking (alokasi penggunaan) wajib dilakukan Pemda minimal 10% dari hasil penerimaan pajak ini untuk belanja infrastruktur jalan dan transportasi umum di daerahnya.

“Diharapkan pertumbuhan penyediaan sarana jalan dan transportasi umum nanti men jadi seimbang dengan pertumbuhan konsumsi penggunaan kendaraan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” tambah Harry.

Empat, tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan maksimal 10% bagi kendaraan pribadi, kendaraan umum 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi. Bila terjadi kenaikan harga tinggi atas BBM, peme rintah pusat dapat mengubah besaran tarif Perda melalui Perpres, kebijakan ini untuk mendorong fasilitas kendaraan umum lebih besar.

Lima, pajak air permukaan, nomenklatur baru dari UU No.34/2000 yaitu pajak pengambilan dan pemanfatan air bawah tanah dan air permukaan. Pajak air tanah dipungut kabupaten/kota. Pajak air permukaan dipungut provinsi, air permukaan yang hanya di satu kabupaten/kota berlaku aturan khusus.

Enam, pajak rokok sebagai pajak baru disetujui dipunguit instansi pemerintah yang berwenang, pemungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok untuk meningkatkan sumber pendapatan asli daerah. Pajak rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014.

Dasar penggunaan pajak rokok adalah, cukai yang ditetapkan pemetintah terhadap rokok, tarif pajak rokok disepakati 10% dari cukai rokok. Hasil penerimaan sebesar70% untuk kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi. “Untuk itu baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota wajib dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat berwenang,” jelas Harry.

Tujuh, pajak kabupaten/kota disepakati menjadi 11 jenis yakni: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Delapan, Tarif pajak hiburan khususnya hiburan mewah seperti panti pijat/spa ditetapkan maksimal 75%. “Pola tarif hiburan ini mirip dengan pola tarif PPnBM atau Pajak Penjualan Barang Mewah yang diatur UU lain,” kata Harry.

Sembilan, pajak bumi dan bangunan (PBB) pedesaan dan perkotaan disepakati menjadi pajak kabupaten/kota melalui pembahasan alot dan panjang.

BPHTB juga disepakati menjadi pajak kabupaten/kota. Ketentuan PBB selain perkebunan, perhutanan, dan pertambangan yang diatur UU No.12/1986tentang PBB telah diubah UU Np.12/1994 serta peraturan pelaksanaannya, dinyatakan tetap berlaku sampai 31 Desember 2013.

Sepuluh, pajak lingkungan usul pemerintah akhirnya ditarik kembali dan disetujui usul pemerintah agar substansi pajak lingkungan masuk dalam retribusi perizinan tertentu.

Sebelas, pajak sarang burung walet disetujui jadi pajak jenis baru, kabupaten/kota yang tidak memiliki potensi industri sarang burung walet tidak diperkenankan memungutnya.

Dua belas, usul pajak telepon disepakati menjadi retribusi jasa umum bernama retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Pemerintah kabupaten/kota yang memungut retribusi ini berkewajiban atas pengendalian tata ruang dan keamanan menara telekomunikasi.

Tiga belas, usul ERP (Electronis Road Pricing ) dari pemerintah akhirnya dihapus, agar tidak menambah beban masyarakat karena infrastruktur mengatasi kemacetan jalan dianggap belum siap.

Empat belas, insentif pemungutan pajak daerah disetujui dengan pola UU tata cara dan ketentuan umum perpajakan, insentif untuk pemungut pajak diberikan bila tercapai kinerja tertentu dari instansi pemungut yang ditetapkan APBD. Tata cara insentif diatur Peraturan Pemerintah (PP).

Lima belas, selain pajak provinsi dan kabupaten/kota, disepakati juga jenis retribusi yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Pajak atau retribusi ini disepakati bersifat tertutup, artinya Pemda tidak boleh membuat pajak atau retribusi di luar UU ini sehingga iklim investasi dan usaha makin sehat.

Sumber: Harian Analisa (20 Agustus 2009)

Kamis, Agustus 20, 2009

Pemerintah Perluas Wajib Pajak Berbasis Profesi

Kamis, 20 Agustus 2009

JAKARTA, KOMPAS.com - Naiknya target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), membuat pemerintah semakin jeli melihat potensi penerimaan negara. Khususnya, penerimaan pajak yang berasal dari setoran masyarakat alias wajib pajak (WP) kepada negara.

Terkait itu, mulai tahun depan, pemerintah akan memperluas objek WP berbasis profesi dalam kepatuhan membayar pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tahun depan, tidak hanya WP yang berprofesi sebagai dokter, artis, dan pengacara saja yang didorong untuk lebih taat membayar pajak. "Pendekatan juga berlaku bagi profesi seperti notaris, akuntan, dan profesi lainnya," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Kamis (20/8).

Selain itu, pemerintah juga akan mengincar pada pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf atawa pekerja.

Sri Mulyani mengakui,, kegiatan ekstensifikasi pajak tersebut dilakukan dalam rangka mencapai target penerimaan perpajakan 2010. "Pemerintah akan melanjutkan reformasi pajak," sambungnya.

RAPBN 2010 menyebutkan, target penerimaan negara dari pajak dalam negeri termasuk cukai mencapai Rp 702,03 triliun.

Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa mengatakan, DPR menyerahkan sepenuhnya teknis ekstensifikasi dan intensifikasi pajak untuk mencapai target penerimaan pajak kepada pemerintah.
(Martina Prianti/Kontan)

Bila Piutang Pajak Tidak Ditagih

Trust No. 41, Tahun VII, 2009, 20 Agustus 2009

Belum seminggu menjabat sebagai direktorat jenderal pajak, Mochamad Tjiptardjo sudah dikejutkan dengan temuan kejanggalan terkait piutang pajak yang berpotensi merugikan keuangan negara. Tidak tanggung-tanggung, dari hasil penelitiannya itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan selisih piutang pajak yang tak tertagih pada 2008 lalu sebesar Rp 1,464 triliun. Potensi kerugian negara itu dilansir ICW pada akhir Juli silam dalam suatu hasil penelitian terhadap piutang pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 26.

Perlu diketahui, PPh pasal 21 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa jabatan atau kegiatan (active income) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Sementara PPh Pasal 26 merupakan pajak yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) luar negeri selai bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Dari hasil penelitian itu, jelas Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko terkuak bahwa, jika dibandingkan dari hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2008 yang diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan selisih piutang pajak yang sangat besar.

Selisih piutang pajak ini, tegasnya, diperoleh berdasarkan penelitian ICW terhadap 374 perusahaan terbuka (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI), dan ternyata hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil audit LKPP 2008. Bearti, jika dijumlahkan dari kedua instrument pasal dalam PPh itu terdapat selisih ebesar Rp 1,464 triliun yang berpoteni merugikan keuangan negara. “Piutang pajak ini yang perlu ditagih,” tandasnya.

Berdasarkan hasil audit LKPP 2008, tercatat piutang pajak PPh Pasal 21 nilainya sebesar Rp 1,229 triliun. Sedangkan dalam laporan keuangan perusahaan terbuka (listing) di BEI nilainya sebesar Rp 1,908 triliun. Jadi untuk PPh Pasal 21 terdapat selisih sebesar Rp 678,7 miliar.

Tidak hanya itu, ICW juga menemukan selisih pada penghitungan PPh Pasal 26. Masih dalam LKPP 2008 sebagai pembandingnya, tercatat piutang pajak yang disajikan dalam LKPP sebesar Rp 125,1 miliar, sedangkan pada data perusahaan terbuka di BEI tercatat piutang pajaknya sebesarnya Rp 911,3 miliar sehingga terdapat selisih Rp 786,2 miliar.

Jika dibandingkan dengan laporan keuangan perusahaan terbuka, ternyata piutang pajak (PPh 2 dan PPh 26) pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam LKPP 2008 lebih rendah atau understated selisihnya mencapai Rp 1,464 triliun.

Danang menduga kemungkinan penyebab terdapat selisih mengenai data piutang pajak antara LKPP 2008 dengan laporan keuangan perusahaan terbuka (listing) di BEI lantaran data di Ditjen Pajak masih bisa dimanipulasi. “Perlu ada pembenahan dan perbaikan di sisi teknologi informasi Ditjen Pajak,” katanya.

Dalam LKPP pada 31 Desember 2008 lalu tercatat piutang pajak pada DJP sebesar Rp 45,173 triliun, sekitar 60,48% disumbang dari perusahaan terbuka. Bahkan, lebih parah lagi masih dari LKPP 2008 tercatat ada juga tunggakan piutang pajak perusahaan besa senilai Rp 12,943 triliun yang sudah berumur lebih dari lima tahun. Sebenarnya, optimalisasi penerimaan pajak bukanlah masalah sulit, tinggal konsistensi dan kemauan politik dari pemerintah saja (Dirjen Pajak). Disarankan pula, jabatan dirjen kini agar lebih transparan serta akuntabilitas dalam pengelolaan dan pelaporan penerimaan pajak negara.

DARI CONSUMER GOOD HINGGA INFRASTRUKTUR

Selain itu, dari laporan keuanga per 31 Desember 2008 yang dilaporkan ke otoritas bursa, ICW mencatat ada 10 perusahaan terbuka yang listing (tercatat) di BEI dinilai sebagai pengutang pajak terbesar ke pemerintah pada 2008. Dari 10 perusahaan itu terbagi menjadi beberapa bidang sesuai dengan industri bisnisnya.

Dari sisi sektor industri consumer good, tercatat pengutang pajak terbesar kepada pemerintah adalah HM Sampoerna sebesar Rp 3,455 triliun. Disusul sebuah perusahaan mi instant sebesar Rp 598,091 miliar, rokok (Rp 563,496 miliar), kebutuhan sehari-hari sebesar Rp 320,447 miliar, dan sebuah perusahaa farmasi sebesar Rp 17,9 miliar.

Untuk sektor perbankan, dari data 2007 lalu tercatat pengutang pajak terbesar yakni tiga bank milik pemerintah yang mencapai Rp 4,046, triliun, dan dua bank swasta sebesar Rp 263 iliar.
Sedangkan untuk sektor pertambangan, dari data 2008, terdapat lima pengutang pajak dengan total sekitar Rp 4,003 triliun.

Sementara, di sektor telekomunikasi terdapat tiga perusahaan yang utang pajaknya sekitar Rp 1,370 triliun. Di bidang infrastruktur, ada sebuah perusahaan pengelolajalan tol dengan utang pajak sebesar Rp 145,52 miliar. Utang pajak sebesar Rp 147,263 miliar ditunggak oleh sebuah perusahaan produsen gas.

Menanggapi tudingan itu, Direktur Corporate Affairs PT HM Sampoerna Tbk, Yos Adiguna Ginting, membantah. Ia menyatakan pihaknya telah melunasi tagihan pajak per 31 Maret 2009 lalu. Sesuai ketentuan Pemerintah Indonesia mengenai tanggal jatuh tempo masing-masing jenis pajak, manajemen PT HM Sampoerna Tbk. menegaskan bahwa perusahaan telah membayar seluruh kewajiban utang pajak dan cukai tersebut di atas pada tanggal 31 Maret 2009.

Hal ini diperkuat dengan laporan keuangan konsolidasi PT HM Sampoerna Tbk. pada kuartal I tahun 2009, pada halaman 5/23 mengenai perpajakan (utang pajak dan cukai).

Yos mengakui, memang dalam laporan keuangan konsolidasi PT HM Sampoerna Tbk. Tahun 2008 pada halaman 5/23 mengenai perpajakan (utang pajak dan Cukai), Sampoerna memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan cukai 2008 sebesar Rp 3,44 triliun. Namun, laporan keuangan itu, sudah disampaikan secara transparan dan dilaporkan kepada Bapepam. “Sudah dilunasi,” tegasnya yakin.

Kepatuhan Wajib Pajak di Jakpus Masih Relatif Rendah

Harian Umum Pelita , 20 Agustus 2009

Jakarta, Tingkat kepatuhan wajib pajak daerah yang meliputi pajak hotel, restoran dan hiburan di Jakarta Pusat (Jakpus) hingga kini masih relatif rendah, padahal kontribusi penerimaan pendapatan asli daerah ini untuk anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya terus meningkat secara signifikan.

Hal ini mendorong pihak Kantor Pelayanan Pajak I dan II Jakpus melakukan sosialisasi perpajakan.

Kenaikan kontribusi pajak daerah terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, setiap tahunnya terus meningkat secara signifikan. Hal ini akibat Jakarta tidak memiliki potensi sumber daya alam, kata Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Jakarta, Reynalda Madjid, saat mensosialisasikan peraturan perpajakan terhadap 400 wajib pajak (WP) di Aula Dinas Pelayanan Pajak, Jl Abdul Muis, Jakpus, kemarin.

Untuk tahun 2009 ini, kata Reynalda Madjid, dari APBD sebesar Rp21 triliun, 44,2 persen atau sebesar Rp9,3 triliun bersumber dari penerimaan pajak daerah. Pada tahun 2008, dari APBD Provinsi sebesar Rp20,6 triliun 42,2 persen atau sebesar Rp8,7 triliunnya dari APBD, dan pada tahun sebelumnya 2007, dari APBD yang dipatok sebesar Rp18,6 triliun, 38,7 persen atau Rp7,2 triliun dari pajak daerah.

Dengan pajak daerah menjadi sebagai tulang punggung dan komponen terpenting dari penerimaan asli daerah (PAD) yang sangat berpengaruh pada APBD, membuat aparat perpajakan harus terus menerus mencari terobosan dalam peningkatan pajak. Karenanya juga diharapkan para wajib pajak menyadari kewajiban masing-masing untuk mendukung berjalannya roda pemerintahan dan membiayai pembangunan.

Kepala Suku Dinas (Sudin) Pelayanan Pajak I, H Krisna, dan Kepala Sudin Pelayanan Pajak II, H Heru Wibisono, memaparkan, potensi objek pajak di Jakpus berjumlah 1.580 objek terdiri dari Hotel sebanyak 272, restoran sebanyak 1.179 dan hiburan sebanyak 129. Untuk kegiatna sosialisasi perpajakan ini yang diundang sebanyak 400 objek pajak terdiri dari 255 restoran, 90 hotel, dan 55 pengusaha hiburan.

Wakil Walikota Jakpus Aep Syarifudin, saat membuka kegiatan sosialisasi ini meminta aparat jajaran perpajakan jangan pesimis dan harus berupaya keras menggali potensi-potensi pajak yang belum tersentuh. Jajaran perpajakan jangan hanya menunggu wajib pajak membayar pajak, tapi harus proaktif mendatangi potensi yang bandel. Juga harus jeli mengamati mana sumber yang memiliki potensi dan bisa digali, tegasnya.

Daerah Menuntut Empat Pajak Utama


Harian Kompas, 20 Agustus 2009

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah menuntut agar ada empat jenis pajak pusat yang diserahkan ke daerah. Hal itu dianggap sesuai dengan makna desentralisasi, yakni melimpahkan kewenangan pemerintah pusat ke daerah, termasuk pengelolaan dana-dana yang dihimpun dari berbagai sumber penerimaan.

Hal tersebut diungkapkan Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita dalam lampiran pidato yang disampaikannya di Jakarta, Rabu (19/8) pada Sidang Paripurna yang mengagendakan Pidato Kenegaraan Presiden RI tentang Pembangunan Nasional dalam Perspektif Daerah dalam Rangka Pembahasan Rancangan APBN 2010.

Menurut Ginanjar, daerah sebaiknya memiliki hak untuk mengelola empat jenis pajak utama dan mendapatkan kompensasi lebih besar dari pemerintah pusat. Pertama, semua Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kedua, pajak dari izin mendirikan bangunan. Ketiga, Pajak Penghasilan (PPh). Keempat, pajak pemanfaatan sumber-sumber daya alam di daerah.

Di samping itu, skema Dana Bagi Hasil (DBH)—salah satu jenis transfer ke daerah dari pemerintah pusat—perlu ditinjau ulang. Selain DBH pertambangan, energi, kehutanan, dan perikanan, daerah juga membutuhkan DBH Perkebunan.

”Dengan demikian, daerah yang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan perkebunan, seperti Sumatera Utara, Riau, dan provinsi di Kalimantan, dapat mengelola bagi hasil perkebunannya. Bagi hasil juga perlu diatur untuk komoditas cengkeh dan tembakau,” ujar Ginanjar.

Ditolak

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pihaknya tidak akan memberikan pengelolaan PPh kepada daerah. Tuntutan daerah yang bisa dipenuhi hanyalah menambah jenis DBH.

Tahun 2010, pemerintah memastikan akan menambah jenis DBH, yakni DBH cukai khusus untuk Nusa Tenggara Barat dan DBH Panas Bumi.

”Kalau PPh tidak akan pernah (diserahkan ke daerah), kecuali dana bagi hasil. Dana transfer berbentuk DBH itu adalah sesuatu yang sifatnya kontekstual dan dinamis. Jadi, kalau dulu atau sampai sekarang ada beberapa sumber daya alam yang paling penting, mungkin pada saat yang akan datang akan berbeda. Hal itu nanti yang akan bisa dibuat,” ujarnya.

Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi

Harian Kompas, 20 Agustus 2009

Kecilnya kenaikan anggaran dalam APBN 2010 dibandingkan dengan anggaran sebelumnya mengisyaratkan pemerintah mulai kesulitan mencari sumber pembiayaan. Besarnya kenaikan anggaran itu hanya sekitar Rp 3,8 triliun (Kompas, 4/8/2009).

Untuk memperbesar sumber pembiayaan negara pada tahun 2010, pemerintah, antara lain, berupaya meningkatkan pendapatan dari pajak. Direncanakan, penerimaan pajak tahun 2010 akan ditingkatkan menjadi Rp 729 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 661 triliun (Kompas, 6/8/2009).

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat krisis finansial global, kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak itu dinilai kurang tepat oleh banyak pihak. Alasannya, kenaikan pajak akan semakin melemahkan kemampuan usaha/ perusahaan dan berpotensi mengalami kebangkrutan. Pada gilirannya, kebijakan menaikkan pajak justru kian memperparah dampak krisis finansial global.

”Trade-off” pajak

Dengan gulung tikarnya perusahaan, otomatis jumlah usaha/perusahaan berkurang sehingga penerimaan pajak ikut berkurang. Dampak lainnya, melemahnya daya beli masyarakat sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Maka, ada trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan pemerintah. Bahkan, semakin tinggi kenaikan pajak berpotensi semakin menurunkan pendapatan pemerintah. Ada dua faktor yang mendasari terjadinya trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, yakni efek aritmatika dan ekonomi.

Efek aritmatika menunjukkan kenaikan pendapatan negara yang semakin besar akibat kenaikan pajak yang semakin tinggi. Celakanya, efek aritmatika itu akan mengalami titik jenuh lalu berbalik menjadi efek negatif terhadap penerimaan negara. Sebab, kenaikan pajak akan menimbulkan efek ekonomi yang kian besar jika kenaikan pajak semakin tinggi. Konkretnya, semakin tinggi pajak akan semakin melemahkan aktivitas ekonomi yang pada gilirannya semakin menurunkan penerimaan pemerintah.

Keterkaitan antara kenaikan pajak dan penerimaan pendapatan itu bisa divisualisasikan dengan Kurva Laffer (Arthur B Laffer, The Laffer Curve: Past, Present, and Future, 2004). Kurva itu menggambarkan, jika besarnya pajak sebesar nol persen, tidak ada pendapatan pemerintah dari pajak sehingga pemerintah kesulitan dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

Sebaliknya, jika pajak ditetapkan sebesar 100 persen, seluruh pendapatan masyarakat akan menjadi pendapatan pemerintah. Namun, hampir dapat dipastikan, jika pajak 100 persen, tidak akan ada penduduk yang bekerja dan/ atau melakukan aktivitas ekonomi. Atas dasar itu, besarnya pajak harus berada 0-100 persen.

Namun, pajak yang semakin mendekati angka nol atau seratus tidak akan menguntungkan ketiga pilar sekaligus: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Sebab, dengan pajak yang kian mendekati nol atau seratus akan semakin menurunkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesempatan kerja (Laffer, 2004).

Penetapan pajak

Maka, dengan mencermati trade-off antara kenaikan pajak dan penurunan pendapatan, pemerintah perlu menetapkan pajak yang tidak terlalu membebani usaha/perusahaan, tetapi berpotensi meningkatkan penerimaan pemerintah atas pajak dan memacu pertumbuhan ekonomi.

Langkah seperti itu ternyata telah lama dipraktikkan Amerika Serikat melalui proxy pajak pendapatan. Diketahui, besarnya pajak pendapatan di negara Paman Sam itu pernah mencapai angka 94 persen pada tahun 1944. Presiden John F Kennedy kemudian berupaya menurunkannya menjadi 70 persen tahun 1965. Atas penurunan pajak itu, hasil evaluasi menunjukkan naiknya pendapatan negara dengan rata-rata 9,0 persen per tahun akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, Presiden Ronald Reagan berupaya kembali menurunkan besarnya pajak pendapatan dari 70 persen menjadi 50 persen tahun 1981. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi meningkat rata-rata 4,8 persen per tahun selama 1983-1986 daripada periode sebelumnya (1978-1982) dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen per tahun (Laffer, 2004).

Kebijakan menurunkan pajak pada era kepemimpinan Barack Obama terus berlanjut tetapi dengan perumusan berbeda. Adapun kebijakan pajak yang dijalankan adalah menaikkan pajak orang kaya dan menurunkan pajak untuk yang lain. Kebijakan ini amat menguntungkan penduduk berpendapatan rendah. Setelah dipotong pajak, penduduk berpendapatan terendah akan menikmati kenaikan pendapatan sebesar 2,4-5,5 persen, sedangkan pendapatan penduduk kaya akan berkurang 8,7 persen. Secara keseluruhan, terjadi penurunan pajak sekitar 0,3 persen atau setara dengan 160 dollar AS (CNNMoney.com, 11/6/2009).

Adapun alasan utama diterapkan kebijakan pajak itu adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat proporsi penduduk berpendapatan rendah di AS amat besar dibandingkan dengan penduduk kaya sehingga amat potensial dalam menggerakkan ekonomi.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu berhati-hati sebelum memutuskan kenaikan pajak. Sebab, selain berpotensi menurunkan penerimaan negara, peningkatan pajak juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, yang akan memperberat dampak krisis finansial global.

Sebenarnya, masih cukup ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa harus menaikkan pajak. Sesuai saran banyak pihak, pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi pajak bukan dengan membuat pajak baru, tetapi dengan menemukan potensi yang hilang akibat transaksi ekonomi, yang pada tahun 2010 diperkirakan berjumlah Rp 280 triliun (Kompas, 6/8/2009).

Pemerintah Sudah Anulir 3.455 Perda

Kontan Online, 20 Agustus 2009

JAKARTA. Makin banyak saja peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Hingga pertengahan Agustus 2009 ini, pemerintah sudah membatalkan 3.455 perda yang mengatur pajak dan retribusi daerah. Soalnya, beleid tersebut menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat iklim investasi di daerah.

Tak hanya itu, Pemerintah juga menolak 1.727 rancangan perda (raperda). "Perda yang dibatalkan dan raperda yang ditolak tersebut, terutama pungutan di sektor perhubungan, industri dan perdagangan, serta pertanian," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di Sidang Khusus Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Rabu (19/8).

Jumlah perda yang dianulir tersebut melonjak dibanding posisi Desember 2008 lalu. Waktu itu, Pemerintah baru membatalkan 2.779 perda bermasalah. Ini berarti, dalam tempo delapan bulan saja, Pemerintah sudah membatalkan lagi 676 perda Adapun jumlah raperda yang ditolak baru mencapai 1.476.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perda yang dibatalkan dan ditolak juga berupa pungutan di bidang budaya dan pariwisata, pekerjaan umum, kesehatan, serta kehutanan.

Kebanyakan merupakan bikinan pemda di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Timur. Jadi, "Tolong kalau bikin perda jangan yang macam-macam dan cari-cari masalah," ujar dia.

Nah, Presiden menyatakan, untuk menciptakan iklim investasi yang baik di daerah, pemerintah akan terus menghapuskan berbagai pungutan daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Selain itu, Pemerintah juga merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang sudah disetujui dan disahkan DPR pada Selasa (18/8) lalu.

Dengan UU PDRD yang baru, Presiden menjelaskan, penetapan jenis pajak dan retribusi daerah bersifat closed list atau daftar tertutup. Artinya, harus mengacu pada ketentuan undang-undang. Karena itu, "Saya menginstruksikan agar daerah memanfaatkan UU PDRD sesuai rambu-rambu yang ada, sehingga tidak menimbulkan beban yang berlebihan bagi pelaku ekonomi," ujar Presiden.

Sejak otonomi daerah, pemda punya kewenangan untuk memungut pajak. Tujuannya, untuk mendongkrak kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhan pengeluarannya. Tapi, Presiden mengingatkan, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), tetap harus mengacu pada prinsip menjaga keselarasan dengan kewenangan dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan.

Menkeu memperkirakan, pada 2011 mendatang atau tahun pertama pelaksanaan UU PDRD, peran PAD terhadap APBD provinsi akan meningkat menjadi 63% dari semula hanya 50% di 2009. Sedang peranan PAD kabupaten dan kota akan naik menjadi 10% dari sebelumnya 7%. "Kondisi ini akan semakin baik pada 2014, kalau semua daerah telah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan menerapkan tarif maksimum," kata Sri Mulyani.

UBS Siap Buka Data Nasabah Pengemplang Pajak

Detik Finance, 20 Agustus 2009

Zurich - Bank-bank Swiss dikenal dengan keteguhannya dalam memegang data rahasia nasabah-nasabahnya. Termasuk nasabah-nasabah yang diduga mengemplang pajak. Pemerintah AS pun sempat dibuat kesal oleh masalah tersebut.

Namun kini pemerintah AS bisa berlega hati karena berhasil mencapai kesepakatan dengan pemerintah Swiss untuk membuka sejumlah informasi dari para pengemplang pajak AS yang memiliki rekening di UBS.

"Kesepakatan itu akan membuat IRS menerima sejumlah informasi yang belum pernah diterima sebelumnya tentang nasabah-nasabah yang memiliki neraca di UBS," jelas International Revenue Service dan Departemen Kehakiman AS dalam pernyataan bersamanya, seperti dikutip dari AFP, Kamis (20/8/2009).

Berdasarkan kesepakatan itu, informasi tentang sekitar 4.450 rekening nasabah UBS milik warga AS akan mulai diserahkan kepada pemerintah AS.

"Kesepakatan ini mempertahankan hak pemerintah AS, jika hasilnya secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan dan hal-hal lainnya gagal untuk mencari penyelesaian judisial yang selayaknya, termasuk mengambil langkah untuk mendorong kepatuhan masyarakat," demikian pernyataan bersama tersebut.

Pekan lalu, pemerintah AS dan UBS melakukan finalisasi atas penyelesaian di luar pengadilan untuk mengakhiri masalah kerahasiaan pajak yang sangat sensitif. Di bawah UU Kerahasiaan Perbankan Swiss, bank-bank di Swiss dilarang untuk membocorkan setiap informasi tentang nasabahnya kepada pemerintah atau pihak ketiga. Kecuali dalam kasus yang menyangkut kriminal.

Swiss dan UBS mendapatkan tekanan dari AS setelah kasus penggelapan pajak muncul di pengadilan Florida tahun lalu. Pada Juli 2008, UBS mengumumkan telah menghentikan sementara jasa perbankan di luar negeri untuk warga AS sehubungan dengan adanya penyidikan tersebut.

IRS dan Departemen Kehakiman AS menyatakan bahwa proses kesepakatan itu akan dimulai dengan permintaan IRS kepada pemerintah Swiss untuk mendeskripsikan rekening-rekening yang akan dicari informasinya. Pemerintah Swiss selanjutnya meminta UBS untuk memberikan informasi tersebut kepada IRS.

"IRS akan menerima informasi atas rekening dari berbagai jumlah dan tipe," demikian pernyataan tersebut.

Sesaat setelah mencapai kesepakatan tersebut, pemerintah Swiss juga sepakat untuk menjual 9% sahamnya di UBS.

"Pemerintah telah memutuskan untuk segera mengakhiri komitmennya ke UBS," ujar Departemen Keuangan Swiss.

Berdamai dengan pajak progresif ?

Bisnis Indonesia, 19 Agustus 2009

Dorongan bagi produsen menggarap pasar ekspor

DPR kemarin menyetujui RUU Nomor 34 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Salah satu poin penting dalam UU yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2010 ini adalah pajak progresif kendaraan bermotor.

Kalangan pelaku industri otomotif menilai kebijakan ini akan membunuh industri otomotif nasional. Ketentuan ini dikhawatirkan akan menghancurkan pasar otomotif domestik karena permintaan mobil bakal merosot.

Kekhawatiran ini tentunya didasarkan pada latar belakang diterbitkannya RUU PDRD tersebut yang memang bertujuan untuk membatasi volume kendaraan bermotor di Tanah Air. Itu artinya sama saja dengan membatasi penjualan mobil.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah upaya mengendalikan penambahan jumlah kendaraan bermotor ini bakal bisa berjalan efektif ? Jawabnya, tergantung seberapa sempurna perangkat aturan pelaksanaannya dibuat, sehingga tidak ada kesempatan bagi konsumen untuk mencari celah dalam mengakali ketentuan tersebut.

Jika aturannya hanya berdasarkan data nama pemilik kendaraan, niscaya kebijakan ini tidak akan efektif. Alasannya, si pemilik kendaraan (pertama) bisa menggunakan nama orang lain-paling tidak anggota keluarganya-untuk kendaraan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dengan memakai nama orang lain, maka si pemilik mobil akan lolos dari perangkap pajak progresif.

Strategi mencari sasaran dengan 'radar' nama ini sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak 2005 yang diperkuat dengan perda, tetapi perda tersebut terbukti tidak efektif.

Guna memperkuat perangkap, dalam UU PDRD objek sasaran nantinya tidak hanya berdasarkan nama semata, tapi juga berdasarkan data kartu keluarga (KK). Dengan bekal data KK tersebut, si pemilik mobil tidak bisa memakai nama orang yang ada di KK sebagai pemilik kendaraan kedua dan seterusnya, guna menghindari pajak progresif.

Perangkap KK ini memang sudah lebih kuat ketimbang hanya berdasarkan nama, tapi tetap punya kelemahan. Si pemilik mobil masih bisa menyiasati perangkap tersebut, dengan cara memakai nama orang lain yang tidak tercantum di KK.

Lalu, bagaimana caranya supaya UU PDRD ini bisa berjalan efektif? Tampaknya belum ada instrumen yang paling pas, kecuali jika sistem nomor identitas tunggal (single identity number) sudah diterapkan di Indonesia.

Kembali ke persoalan kepanikan pelaku otomotif terhadap anjloknya pasar mobil akibat pajak progresif, saya menilai itu sebagai kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Fakta membuktikan bahwa Pemprov DKI Jakarta yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan pajak progresif ternyata tidak mampu membendung masyarakat untuk membeli mobil.

Polemik dan kontroversi seputar implementasi pajak progresif sebaiknya disudahi saja. Jangan saling kecam dan saling tuding. Mengapa tidak saling berangkulan saja di antara pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut ?

Alangkah indahnya jika kita sama-sama saling membenahi diri. Di satu sisi pemerintah harus membenahi manajemen transportasi guna mengatasi kemacetan lalu lintas, dengan cara menambah ruas jalan dan strategi umur kendaraan tertentu. Masalah ini memang sudah mendesak diatasi sejak dulu, dengan ataupun tanpa UU PDRD. Kondisi kemacetan, khususnya di Jakarta, sudah sangat kronis. Dana hasil pajak progresif harus benar-benar diaplikasikan untuk mengatasi masalah tadi, dan harus diawasi oleh pemerintah daerah, meski alokasi dana untuk infrastruktur jalan relatif kecil, hanya 10% dari total penerimaan pajak progresif.

Genjot ekspor

Pada sisi lain, pelaku industri otomotif juga harus berupaya memperbesar porsi ekspor sebagai kompensasi berkurangnya pasar di dalam negeri sebagai dampak dari implementasi UU PDRD ini. Itu pun jika memang terjadi kemerosotan pasar.

Justru inilah momentum yang tepat bagi para pelaku untuk membuktikan bahwa industri otomotif nasional bukan jago kandang. Industri otomotif Indonesia harus bisa membuktikan mampu bersaing di tingkat regional, bahkan internasional.

Memang, ekspor kendaraan bukan hal mudah. Apalagi hingga kini ATPM (Agen tunggal pemegang merek) masih sangat bergantung pada prinsipal. Untuk ekspor pun masih diberi kuota, termasuk negara tujuan yang ditentukan oleh prinsipal.

Kondisi ini terbentuk karena prinsipal menguasai segalanya, baik modal maupun teknologi. Sejumlah ATPM yang sebagian sahamnya semula masih dimiliki oleh mitra lokal, kini secara perlahan saham mereka mulai 'dicaplok' oleh prinsipal. Bahkan ada beberapa ATPM yang 100% sahamnya sudah dikuasai prinsipal.

Dengan menguasai mayoritas saham, posisi prinsipal menjadi begitu dominan terutama dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Posisi CEO pun dipegang mereka, sedangkan para profesional lokal hanya diberi posisi direktur atau deputi direktur. Tak heran jika setiap pernyataan yang dilontarkan oleh petinggi ATPM notabene mewakili suara prinsipal.

Sudah saatnya ATPM bersikap dan berani menyampaikan pendapat kepada prinsipal. Di sinilah kepiawaian petinggi lokal ATPM diuji.

Mampukah mereka berdiplomasi dan bernegosiasi dengan prinsipal untuk bisa diberi keleluasaan untuk mengekspor kendaraan. Petinggi ATPM harus punya posisi tawar yang tinggi terhadap prinsipal, sehingga tidak terus-menerus didikte oleh prinsipal.

Prinsipal otomotif sudah cukup puas menikmati pasar Indonesia yang gemuk. Kinilah saatnya prinsipal membantu ATPM menembus pasar-pasar baru di manca negara.

Berdasarkan data Gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo), porsi ekspor kendaraan Indonesia hanya berkisar 10% hingga 20% dari total penjualan domestik. Angka ini masih terlalu kecil bagi sebuah industri yang mengklaim diri sebagai industri yang sudah mandiri.

Menyoal Pajak Final Konstruksi

Harian Ekonomi Neraca , 19 Agustus 2009

Salah satu kiat pemerintah menutup anggaran adalah pengenaan pajak final pada jasa konstruksi. Namun pajak ini berpotensi mengurangi keuntungan emiten konstruksi. Pajak merupakan sumber pemasukan utama bagi negara, tak terkecuali Indonesia, untuk menutupi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Jadi wajar jika pemerintah pantang surut semangat dalam menggali berbagai potensi penerimaan pajak.

Salah satu upaya meningkatkan pendapatan pajak adalah dengan mengenakan pajak final pada para pengusaha jasa konstruksi. Inilah yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Usaha Jasa Konstruksi.

Dalam aturan teknis tersebut yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK.03/2008 termuat berbagai Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan PPh atas Penghasilan Jasa Konstruksi. Dengan beleid dari Menteri Keuangan itu, Direktorat Jenderal Pajak pun akan menggali pajak dari para pengusaha jasa konstruksi lebih mudah.

Sekedar diketahui, dalam PMK ini, pemerintah mengenakan tarif PPh final yang berlaku bagi jasa konstruksi mulai 2% hingga 6%. Tarif 2 % untuk jasa konstruksi golongan usaha kecil. Sedangkan bagi usaha menengah dan besar, tarif PPh final 3%. Namun, bagi usaha menengah dan besar yang belum punya sertifikasi usaha akan terkena tarif 4%. Untuk kegiatan jasa perencanaan dan penga-wasan konstruksi, mereka yang bersertifikat usaha terkena tarif PPh 4%. Sedangkan tarif tertinggi sebesar 6%, bagi penyedia jasa perencanaan dan pengawasan yang tidak bersertifikat. Tentu saja penerapan pajak final konstruksi ini tidak mengenakkan bagi pengusaha, karena otomatis margin keuntungannya bakal terpankas. Tak heran ketika awal-awal sosialisasi pengenaan pajak final ini banyak pengusaha jasa konstruksi menolaknya. Alasan pengusaha konstruksi, peraturan ini kurang adil, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang. Selain itu, pengusaha menilai aturan ini tidak tidak memperhitungkan kerugian pengusaha jasa konstruksi setelah selesai mengerjakan proyek. Sebab,dengan peraturan ini, baik rugi atau untung semua akan kena pajak yang sama.

Selain itu, pengenaan pajak ini berpotensi mengurangi potensi keuntungan yang bakal diraih emiten dari insentif pajak sebagai perusahaan terbuka. Memang sebagaimana digariskan dalam PP No.81/2007 Tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang berbentuk Perseroan Terbuka, perusahaan yang menjual sahamnya ke publik hingga 40% akan mendapat insentif berupa pemotongan PPh badan 5% dari 30% menjadi 25%.

Sebelum pemberlakuan baru ini, perhitungan PPh badan mengacu pada perolehan laba perusahaan. Sementara itu, perhitungan pajak final akan mengacu pada perolehan pendapatan usaha. Nah, dengan demikian, logika saya, kalau kalau pajak final ini dikenakan, emiten konstruksi tentu saja tak menikmati potongan pajak 5%.

Saya sendiri kurang paham apakah pemberlakuan pajak final tersebut kemudian berakibat pada kinerja emiten atau tidak. Namun, lemyata hingga semester I-2009, para emiten konstruksi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), ternyata masih mampu membukukan kinerja relatif positif, terutama duo BUMN, PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk.

Apakah ini berarti pajak final ternyata tak terbukti memangkas laba emiten kosntruksi? Nampaknya kita perlu ditunggu hingga akhir tahun.

Dampak Pajak Daerah Mulai Terasa 2011

Koran Tempo, 19 Agustus 2009

Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran daerah meningkat.

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dampak penerapan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang disahkan kemarin, terhadap peningkatan pendapatan asli daerah mulai terasa pada 2011. Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran daerah tingkat provinsi maupun kabupaten sama-sama meningkat pada 2011.

Peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran provinsi pada 2011 diprediksi mencapai 63 persen dibanding saat ini, yang baru sekitar 50 persen. Sedangkan peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran kabupaten dan kota juga meningkat menjadi 10 persen dari semula 7 persen.

"Secara nasional peranan pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah naik dari 19 persen menjadi 24 persen," kata Sri Mulyani saat menyampaikan paparan pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam sidang paripurna DPR kemarin.

Peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah akan terus meningkat dalam lima tahun mendatang. Pada 2014, peran pendapatan asli daerah itu menjadi 68 persen untuk provinsi dan 15 persen untuk kabupaten dan kota. Secara nasional peran pendapatan asli daerah terhadap anggaran belanja daerah juga meningkat menjadi 29 persen.

Perkiraan peningkatan pendapatan ini terjadi jika semua daerah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi dengan tarif maksimum. Tapi Sri mengingatkan, penerapan undang-undang baru ini agar memperhatikan waktu yang tepat dan disesuaikan dengan kemampuan pelaku ekonomi di daerah. "Penerapannya tidak boleh menimbulkan beban berat pada seluruh pelaku ekonomi," katanya.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah menjamin pengawasan pajak dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Pemerintah akan mengevaluasi rancangan peraturan daerah sebelum disahkan. Jika rancangan itu bertentangan dengan undang-undang, pemerintah berhak membatalkan. "Ini untuk mencegah pungutan daerah bermasalah," katanya.

Peraturan baru ini, kata dia, memperbaiki tiga hal, yakni penyempurnaan sistem pemungutan pajak dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan, serta peningkatan efektivitas pengawasan. "Sehingga, peningkatan pendapatan asli daerah dilakukan dengan tetap konsisten terhadap prinsip perpajakan yang baik dan tepat," katanya.

Menyikapi pengesahan undang-undang ini, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan siap menyusun peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana undang-undang tersebut. Selain itu, penertiban peraturan daerah yang tak sesuai dengan undang-undang akan dilakukan.

Mantan Gubernur Jawa Tengah itu mengaku tidak mau mengobral janji tentang kesiapan daerah melaksanakan peraturan baru ini. Pemerintah, kata dia, sudah memiliki aturan, termasuk sanksi. Karena itu, penguatan kapasitas aparat daerah perlu dilakukan, terutama dalam kegiatan pemungutan. agoeng wijaya

Pemerintah Jamin Kalangan Industri

Jakarta - Pemerintah menjamin kalangan industri bisa terhindar dari dampak buruk yang mungkin terjadi setelah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diterapkan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, undang-undang baru ini pasti berdampak terhadap industri, terutama otomotif. Karena itu, pemerintah tetap mengontrol penerapan undang-undang ini agar tidak menjatuhkan bisnis.

"Kalau industri sampai jatuh, pemerintah sendiri yang akan rugi," kata Sri Mulyani di Jakarta kemarin. Pemerintah akan mengawasi dan memperhitungkan secara keseluruhan dampak undang-undang terhadap perekonomian. Salah satu yang akan dilakukan adalah mengevaluasi setiap rancangan peraturan daerah sebelum disahkan menjadi peraturan.

Selain menjamin kalangan industri, penerapan undang-undang ini diharapkan bisa mendorong usaha, termasuk usaha mikro kecil dan menengah. "Kami minta pemerintah mengawasi sehingga potensi daerah meningkat," kata Risman Tony saat memaparkan pandangan Fraksi Golongan Karya di DPR.

Risman mengingatkan undang-undang pajak daerah ini tidak mengakomodasi rencana pemberlakuan pajak lingkungan. Akibatnya, pajak lingkungan pada masa mendatang tetap dipungut dan diatur oleh pemerintah daerah lewat retribusi. "Kami juga minta pengawasan retribusi lingkungan di daerah," katanya.

Kamis, Agustus 06, 2009

Bisnis Katering Bakal Dikenai Pajak

VIVAnews - Usaha katering mulai resmi masuk dalam daftar pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Dalam RUU PDRD, usaha katering masuk dalam daftar pajak restoran.
Dirjen Perimbangan Departemen Keuangan, Mardiasmo mengatakan penambahan pajak ini ditetapkan agar daerah tidak lagi mengambil pungutan di luar apa yang telah ditentukan.
"Ini agar jelas, dimana tarif pajaknya juga ditentukan dalam peraturan," katanya di Jakarta, 5 Agustus 2009. Dengan demikian, daerah hanya boleh mengambil sesuai daftar yang ditentukan."Salah satu contoh adalah pajak restoran," kata dia.
Pemerintah bersama DPR sepakat bakal mengesahkan RUU PDRD menjadi UU. RUU ini mengatur soal perpajakan di daerah sehingga pemerintah daerah mempunyai acuan dalam mengeluarkan kebijakan perpajakan.
Di RUU PDRD bagian kedelapan Pasal 37 disebutkan objek pajak restoran berupa pelayanan yang disediakan oleh restoran. Pelayanan ini mencakup pelayanan penjualan makanan dan atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli baik yang dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.
Tarif pajak restoran ini ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.Dasar pajak restoran ini adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh restoran.
Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan atau minuman dari restoran.
Selain itu, kata dia, semua fasilitas pelayanan hotel juga masuk pajak daerah. Jadi, dia mencontohkan jika selama ini sewa hotel untuk menginap, perkawinan atau kantor masuk dalam kategori pajak pusat dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka mulai sekarang semua masuk pajak daerah.

Selasa, Agustus 04, 2009

Pajak Meredam Kendaraan

Koran.kompas.com, Rabu, 5 Agustus 2009


Jakarta, Kompas - Pemilik kendaraan harus membayar lebih jika ingin membeli kendaraan kedua dan selanjutnya karena DPR sudah menyetujui Pajak Kendaraan Bermotor Progresif dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang didesain untuk meredam jumlah kendaraan.

Tarif kedua instrumen pajak itu sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah provinsi sehingga di setiap daerah akan berlainan. Misalnya, harga bahan bakar minyak (BBM) di DKI Jakarta dan Banten bisa saja berlainan karena tarif pajak BBM yang berbeda.

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Harry Azhar Azis mengungkapkan hal tersebut seusai memimpin rapat kerja dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (4/8).

Rapat tersebut mengagendakan pandangan fraksi mini tentang RUU yang akhirnya bersepakat membawa RUU tersebut ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Menurut Harry, penerapan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Progresif diharapkan bisa menekan volume kendaraan. Dengan pajak ini, pemilik kendaraan pribadi membayar pajak lebih mahal untuk pemilikan kendaraan kedua dan selanjutnya.

Harry mengatakan, kendaraan milik pribadi pertama hanya akan dikenai PKB 2 persen terhadap nilai jual. ”Namun, untuk kendaraan kedua dan selanjutnya, tarif PKB ditetapkan 2-10 persen tergantung keputusan pemerintah provinsi,” ujarnya.

Sebagai gambaran, jika mobil yang pertama dibeli Rp 100 juta, PKB atas mobil tersebut Rp 2 juta per tahun. Namun, jika mobil sejenis dibeli untuk kedua kali dan seterusnya, PKB yang dibebankan bisa lebih mahal, yakni Rp 3 juta-Rp 10 juta.

Sebanyak 70 persen dari dana yang diperoleh dari pemungutan PKB dan juga pajak bahan bakar kendaraan diserahkan kepada pemerintah provinsi dan 30 persen lainnya untuk kabupaten serta kota. Pemerintah daerah wajib mengalokasikan 10 persen dari penerimaannya untuk infrastruktur jalan.

Jenis kendaraan yang diatur adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya, baik di darat maupun air. Jenis kendaraan yang tidak dibebani aturan PKB ini adalah kereta api, kendaraan pertahanan, dan kendaraan kedutaan besar asing.


Tarif bahan bakar


Tarif pajak BBM kendaraan bermotor untuk angkutan umum, ujar Harry, ditetapkan maksimal 5 persen. Tarif ini untuk angkutan kota, bus, dan ojek motor. Adapun angkutan pribadi ditetapkan maksimal 10 persen terhadap harga jual BBM.

Aturan ini mulai diterapkan pada tahun 2012 atau tiga tahun setelah UU pajak ini berlaku, yakni 1 Januari 2010, untuk memberi kesempatan pemerintah mengatur teknis penerapannya. DPR mempersilakan pemerintah menggunakan opsi kartu cerdas (smart card), yang diwacanakan awal tahun 2008.

Pemerintah provinsi bisa menggunakan pajak ini sebagai instrumen mengatur jumlah kendaraan yang lalu lalang di wilayahnya. Misalnya, jika DKI Jakarta ingin membatasi jumlah kendaraan pribadi, tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor dapat ditetapkan maksimum, yakni 10 persen.

Lalu, Provinsi Banten, misalnya, jika ingin mengundang kendaraan pribadi lebih banyak agar aktivitas ekonomi lebih marak, bisa menerapkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor seminimal mungkin. Sebagai ilustrasi, jika DKI Jakarta menetapkan tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor 10 persen untuk kendaraan pribadi, pajaknya Rp 450 per liter. Adapun jika Banten menetapkan tarif 5 persen, harga jual premiumnya hanya Rp 4.275 per liter.

”Tarif minimumnya tidak dibatasi. Artinya, suatu provinsi bisa menetapkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor nol persen untuk menarik pengguna kendaraan pribadi lebih banyak atau mengundang investasi lebih marak,” ujar Harry.


Tidak masuk akal


Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata mengecam pemberlakuan pajak kendaraan progresif yang dinilainya tidak masuk akal. Pemerintah harus menjelaskan filosofi memberlakukan pajak progresif tersebut.

”Pengusaha tidak pernah diajak bicara. Pajak progresif akan berdampak buruk bagi industri nasional,” kata Gunadi.

Ia menjelaskan, apabila alasan pemerintah memberlakukan pajak progresif untuk sekadar meningkatkan pendapatan pemerintah daerah, pajak seharusnya diturunkan saja sehingga akan mendorong pembelian kendaraan.

Kalau alasannya adalah kemacetan sehingga jumlah kendaraan bermotor hendak dikurangi, pemerintah dinilai tidak masuk akal. Kemacetan terutama terjadi akibat minimnya pertumbuhan infrastruktur yang hanya 0,1 persen per tahun. Itu karena anggaran perbaikan jalan hanya 2 persen dari total APBN sekitar Rp 1.000 triliun.

Pengurangan kendaraan bermotor juga tidak masuk akal karena penjualan mobil hanya 600.00 unit per tahun. Jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan Jepang dengan 120 juta jiwa dengan angka penjualan mobil 6,5 juta unit per tahun.(OSA/OIN)

Tahun 2010, Target Pajak Rp 729,2 Triliun

Harian Kontan, 4 Agustus 2009

JAKARTA. Ini peringatan bagi wajib pajak (WP), khususnya perusahaan yang selama ini berkelit dari kewajiban membayar pajak. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Pemerintah akan mengejar para pengemplang pajak.

Ancaman Sri Mulyani ini meluncur seiring dengan kenaikan asumsi penerimaan negara dari pajak yang cukup besar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 dibandingkan APBN 2009. RAPBN 2010 menyebutkan, target penerimaan negara dari pajak dalam negeri termasuk cukai mencapai Rp 702,03 triliun.

Padahal, dalam APBN 2009 target penerimaan pajak hanya Rp 697,34 triliun. Nah, bila ditambah dengan pajak perdagangan internasional, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2010 itu akan menjadi Rp 729,2 triliun. "Kami akan kejar penghindar pajak tanpa menganggu usahanya," ujar Sri Mulyani, Senin (3/8).

Tapi, Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan asumsi penerimaan pajak itu hanya menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) alias tax ratio 2010 menjadi 12,1% . Sebagai pembanding, tahun ini, pemerintah mematok tax ratio sebesar 12% dari PDB. Menurutnya, tax ratio 2010 hanya meningkat tipis karena jumlah PDB meningkat tajam. Masih banyaknya sektor yang bebas pajak juga menjadi penyebab rendahnya kenaikan tax ratio tersebut.

Pengamat Pajak Universitas Indonesia Darussalam mengaku tidak heran jika tax ratio masih rendah. "Kenaikan kecil karena penerimaan pajak belum pulih dari dampak krisis global," katanya. Di luar itu, sebagian pembayar pajak juga merupakan perusahaan besar yang masih terkena imbas krisis. Belum lagi, dampak reformasi pajak baru bisa dinikmati empat tahun lagi.

Tax Ratio Hanya Naik 0,1 Persen

Koran Jakarta, 4 Agustus 2009

JAKARTA , Pemerintah menargetkan rasio penerimaan perpajakan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio sebesar 12,1 persen dalam Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010.

Kenaikan itu hanya 0,1 persen jika dibandingkan dengan tax ratio pada APBN 2009 yang sebesar 2,0 persen.

“Tax ratio di 2010 sekitar 12,1 persen dari PDB dibanding 2009 sekitar 12,0 persen,” kata Menko Perekonomian/Menteri Keuangan Sri Mulyani di sela konferensi pers mengenai RAPBN 2010 dan Nota Keuangannya, di Jakarta, Senin (3/8).

Menurut Menkeu, secara nominal, target penerimaan perpajakan 2010 naik 11,8 persen dibandingkan tahun 2009. Penerimaan perpajakan non migas akan mengalami kenaikan 14,4 persen.

Besaran target penerimaan pajak dalam RAPBN 2010 adalah 729,2 triliun rupiah. Sementara dalam APBN 2009 penerimaan perpajakan ditargetkan 725,8 triliun rupiah. Dalam APBN 2009 dokumen stimulus turun menjadi 661,8 triliun rupiah, dan kemudian diubah kembali menjadi 652,4 triliun rupiah dalam RAPBN Perubahan 2009.

Menkeu menyebutkan, rendahnya kenaikan tax ratio pada 2010 dibanding 2009 terkait dengan kenaikan secara riil PDB yang cukup pesat dan banyak bidang yang belum atau tidak terkena pajak. Menkeu menambahkan, penerimaan perpajakan sampai 2014 akan meningkat mencapai 15,2 persen.

Perinciannya adalah penerimaan perpajakan berturut-turut 7 persen, 13,4 persen, 14,2 persen dan 15,2 persen. Sementara PDB nominal berturut-turut dari 2010-2014 sebesar 5.953 triliun rupiah, 6.638 triliun rupiah, 7.395 triliun rupiah, 8.237 triliun rupiah, dan 9.183 triliun rupiah.

Imbas krisis

Pengamat perpajakan UI Darussalam mengatakan, peningkatan penerimaan perpajakan di 2010 yang hanya 0,1 persen disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah memperkirakan krisis ekonomi belum pulih total di 2010 sehingga penerimaan perpajakan masih seret. “Kedua, penyumbang besar penerimaan perpajakan adalah perusahaan-perusahaan besar atau Wajib Pajak besar, krisis ekonomi di 2010 masih mengancam WP besar,” kata dia.

Menanggapi tax ratio di 2014 yang bisa mencapai 15,2 persen, menurut Darussalam sangat mungkin tercapai. Hal ini dikarenakan sampai 2014 kondisi ekonomi diperkirakan sudah pulih sehingga penerimaan perpajakan bisa digenjot. “Reformasi perpajakan sudah berhasil meratakan kewajiban pembayaran pajak baik WP besar maupun WP perorangan. Penerimaan perpajakan bakal naik sangat feasible dengan fondasi reformasi perpajakan yang sudah kuat sekarang ini,” kata dia.

Penurunan Penerimaan Pajak

Harian Kontan, 3 Agustus 2009

JAKARTA. Pantas saja penerimaan negara dari pajak sepanjang semester I 2009 turun dibanding periode yang sama tahun lalu. Ternyata, sekitar 20 dari 31 kantor wilayah (kanwil) pajak tidak berhasil memenuhi target yang telah ditetapkan. Alhasil, mereka pun harus menyandang rapor merah penerimaan pajak.

Nah, agar target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 tercapai, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengaku akan fokus memantau 20 kanwil itu.

"Kalau yang mencapai target sudah aman. Jadi, saya tidak akan otak-atik. Saya tinggal fokus pada 20 kanwil dan akan kami bedah mana potensinya," jelasnya.

Sayang, Tjiptardjo tak mau membeberkan identitas satu kanwil pun dari 20 kanwil tersebut. Yang pasti, pengawasan ini akan langsung dilakukan kantor pajak pusat.

Seperti kita ketahui, hingga semester I 2009, penerimaan pajak hanya Rp 253,18 triliun atau turun 2,83% dibandingkan semester I 2008 sebesar Rp 260,55 triliun.
Dengan begitu, penerimaan pajak semester I baru tercapai 43,07% dari target APBN 2009. Dus, ini lebih sedikit ketimbang pencapaian periode sama 2008 sebesar 48,74%.

Menurut Tjiptardjo, kantor pajak memang menyadari bahwa penurunan penerimaan itu tidak lepas dari dampak krisis global. Karena itu, Ditjen Pajak berencana menggali potensi penerimaan lain dan mendorong kepatuhan.

Khusus soal kepatuhan, Mantan Direktur Intelijen dan Penyelidikan ini menyatakan bahwa bendaharawan merupakan salah satu pejabat yang bakal menjadi sasaran. Kata Tjiptardjo, jika anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) cair dalam waktu dekat, ia akan meminta bendaharawan segera menyetorkan pajak.

Bendaharawan merupakan pejabat di pemerintah daerah atau perusahaan yang mengerjakan proyek pemerintah. "Jangan sampai lolos seperti di Jakarta. Saya menangkap bendaharawan yang tidak menyetorkan pajak senilai Rp 38 miliar," tegas Tjiptardjo.

Selain mengawasi bendaharawan, Ditjen Pajak juga akan menindaklanjuti penerbitan faktur pajak fiktif. Tjiptardjo mengakui, sejak menjabat sebagai direktur intelijen, kabar maraknya penerbitan faktur pajak fiktif sudah santer terdengar. Nilai faktur pajak fiktif tersebut diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Oleh karena itu, "Saya akan menambah tenaga intelijen dan tenaga penyidik," jelasnya.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa mengatakan, penerimaan negara dari pajak merupakan harapan terbesar Pemerintah untuk membiayai belanja negara tahun ini.
"Target penerimaan pajak harus dicapai lewat intensifikasi," tegasnya.