LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Rabu, Oktober 22, 2008

AR, APAAN TUH…?

Saya agak terkejut saat berbincang dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pengusaha di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Dia bertanya pada saya, AR itu apa sih? Dia mendengar istilah AR itu waktu diberitahu kawannya saat akan mengurus pajak di salah satu Kantor Pajak Pratama di Jakarta. Sebagai praktisi dan pemerhati masalah Perpajakan, istilah AR cukup familiar di telinga penulis. Tetapi ternyata hal itu berbeda untuk kalangan pengusaha dan masyarakat awam lainnya. Itu terjadi di Jakarta yang Informasi relative mudah diperoleh. Lalu bagaimana di wilayah nusantara yang lain ya?

Kejadian itulah yang kemudian mengingatkan penulis untuk menuangkan ke dalam tulisan yang disajikan dalam ruang gossip ini. Paling tidak, penulis ingin sekedar berbagi cerita tentang apa dan bagaimana AR itu secara garis besar. Yah, setidaknya tentang AR yang pernah berhubungan kerja dengan penulis.

AR, yang merupakan singkatan dari Account Representative, adalah petugas khusus di unit Kantor Pelayanan Pajak di bawah Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Seksi Waskon / PK). Tugasnya memberikan bimbingan dan arahan kepada wajib pajak yang berada dalam tanggung jawabnya. Satu orang AR bertanggung jawab atas sejumlah wajib pajak. Jumlah beragam, antara 30 sampai ribuan wajib pajak, tergantung KPPnya. Selain tugas tersebut, ternyata AR juga memiliki tugas melayani proses-proses permohonan wajib pajaknya, seperti memproses pemindahbukuan, pembuatan Surat Keterangan Bebas jenis pajak tertentu, dan lain sebagainya.

Tugas AR cukup padat dan berat, oleh karena itu, AR dipilih dari petugas-petugas dengan kualifikasi tertentu, dan telah lulus seleksi khusus. Gosip yang penulis dapatkan, AR di seluruh KPP di Kanwil Jakarta Pusat ketika pembentukan modernisasi di sana, adalah mereka yang memenuhi kriteria tersebut, tetapi AR di KPP lain, tidak semuanya telah lulus seleksi, tetapi berdasarkan penunjukkan. Sekedar catatan, Jakarta Pusat adalah Pilot Project pembentukan KPP Pratama, sehingga AR yang membidani pun adalah yang memiliki kualifikasi tersebut. Namun sekarang sudah banyak AR di Jakarta Pusat yang dipindahtugaskan ke KPP di wilayah lain, entah itu di LTO, KPP Khusus, KPP Madya, atau pun KPP Pratama.

Tetapi lepas dari semua rumor yang ada, peran AR atas seorang wajib pajak cukup besar. Ketika seorang wajib pajak akan menanyakan sesuatu aturan pajak yang tidak dimengertinya, dia cukup menghubungi ARnya, dan kemudian AR yang akan membimbing dan menindaklanjuti setiap kebingungan tersebut. Jadi penting bagi wajib pajak untuk mengetahui dan mengenal siapa ARnya.
Kira-kira, itulah gambaran umum mengenai seorang AR. Semoga dengan tulisan ini, akan bertambah banyak orang yang mengetahui apa dan siapa AR di Kantor Pajak. Mulailah mencoba mengenal ARnya, karena merekalah yang bertugas membuka tabir ketakutan kita ketika harus berhubungan dengan Kantor Pajak.

Wassalam,
Tofilo

NPWP, PERLU GAK SIH…???

Pertanyaan itu selalu hadir setiap penulis bertemu dengan teman, saudara, dan sanak kerabat di seantero nusantara. Sebuah pertanyaan yang wajar, mengingat NPWP hanyalah sebaris nomor identitas yang berhubungan (hanya) dengan kewajiban kita sebagai warga negara. Dengan memiliki NPWP, kita hanya dijejali dengan kewajiban membayar dan melapor pajak ke kantor pajak, tanpa kita tahu apa keuntungannya. Jika kemudian kita melewati jalan berlubang, pengurusan KTP yang berbelit, dan segala kerumitan lain yang dapat ditemui di negeri ini, pertanyaan tersebut akan semakin menggila dalam benak kita. Ya, NPWP memang tidak bisa kita gunakan untuk menuntut pemerintah yang tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat pembayar pajak.

Lalu, bagaimana sebaiknya? Dari sudut pandang penulis, terutama ditujukan bagi para pembaca yang berstatus sebagai karyawan, keuntungan nyata memiliki NPWP memang tidak ada. Tetapi lambat laun, segala urusan di negeri ini akan memerlukan NPWP. Contohnya, saat ini, NPWP dibutuhkan dalam proses jual beli tanah dan bangunan. Dalam UU PPh yang baru, disebutkan bahwa kalau mau ke luar negeri, mereka yang berNPWP akan dibebaskan dari pembayaran fiskal Luar Negeri. Apalagi kalau isu Single Identity Number yang dulu pernah didengungkan jadi terlaksana, maka NPWP akan menjadi alat Utama proyek tersebut.

Jika kemudian ada ketakutan karena memiliki NPWP, yang berarti akan terdeteksi oleh petugas pajak, penulis pikir itu hal yang wajar. Wajar karena catatan perilaku aparat negara ini, termasuk aparat pajak, memang tidak baik. Berurusan dengan aparat negeri ini, bisa diibaratkan dengan mencari masalah. Tetapi khusus untuk aparat pajak beberapa waktu terakhir ini, penulis mendapatkan catatan penting dari beberapa rekan pengusaha dan praktisi pajak di lapangan. Menurut mereka, ada perubahan sikap positip yang signifikan, terutama sejak proyek reformasi birokrasi digulirkan di instansi yang dipimpin pak Darmin Nasution ini. Jadi kayaknya, ketakutan ini bisa agak dieliminiasi.

Untuk kewajiban sebagai pemilik NPWP, terutama yang berstatus karyawan, juga tidak terlalu menjadi masalah. Kewajiban lapor ke kantor pajak hanya setahun sekali, dan itu pun bisa melalui pos tercatat. Kalau bingung ngisi formulir SPT, ada petugas di kantor pajak yang namanya Account Representative, bisa membantu membimbing. Kayaknya sih gak susah-susah amat.

Jadi…?? Daftar aja NPWP, daripada nantinya dikejar-kejar petugas pajak dan dianggap sebagai warga negara yang tidak baik. Oh iya, satu lagi, di tahun 2009 nanti, yang ber NPWP, tarif pajak penghasilannya, misalnya atas gaji, yang dipotong bagian keuangan kantor, ternyata lebih rendah dibandingkan yang tidak ber NPWP lho…. Coba liat di UU PPh yang baru deh.

Itu dulu ya. Nanti kita gosipkan masalah yang lain.
Wassalam

SUNSET POLICY BAGIAN II

Sunset Policy masih menjadi isu yang hangat untuk diomongin saat ini. Dalam beberapa pertemuan dengan rekan-rekan akuntan dan praktisi Perpajakan, penulis masih sering berdiskusi tentang kebijakan pemerintah di tahun 2008 ini.

Salah seorang Kakanwil DJP pernah mengatakan, alasan disebut sunset policy adalah karena waktunya yang sangat sempit laksana matahari yang akan terbenam. Setelah matahari terbit kembali keesokan harinya, maka semuanya diharapkan sudah bersih kembali, bebas dari kesalahan masa lalu (tahun 2006 ke belakang). Istilahnya Pertamina yang sering dikatakan para petugas pengisian BBM, “mulai dari nol”.

Begitu mulianya keinginan para petinggi-petinggi Departemen Keuangan untuk mengajak para Wajib Pajak kembali ke nol, sampai-sampai, begitu banyak iklan layanan masyarakat tentang Sunset Policy dapat kita temui di media massa sampai di pinggir jalan. Namun sampai saat ini, ternyata masih sedikit wajib pajak yang mempergunakan sunset policy. Sedikit dalam arti dibandingkan jumlah wajib pajak terdaftar di seluruh pelosok negeri ini. Apakah sebenarnya yang terjadi ya?

Ada beberapa sumber yang mengatakan ketakutan wajib pajak menjadi hal Utama kurangnya minat pengguna kebijakan ini. Wajib pajak takut, kebijakan ini hanya menjadi alat untuk “mengorek” wajib pajak lebih dalam lagi. Bahkan sampai ada ketakutan bahwa aparat pajak akan menggunakan sarana Sunset Policy ini untuk mencari keuntungan pribadi.

Berita terakhir yang didapat penulis, DJP telah bergerak untuk mengatasi ketakutan ini. Bahkan di salah satu surat kabar di Jakarta, penulis membaca ada pengumuman dari pemerintah yang menegaskan bahwa Sunset Policy bukan jebakan bagi wajib pajak.

Bukti bahwa itu bukan jebakan adalah, setiap wajib pajak yang memanfaatkan kebijakan ini akan diberikan semacam surat atau tanda bahwa yang bersangkutan telah memanfaatkan program Sunset Policy. Dengan tanda tersebut, dijamin wajib pajak tidak akan diteliti lebih jauh untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali ada bukti (bukan hasil analisa petugas pajak), yang menunjukkan WP masih menyembunyikan “sesuatu”. Bahkan perbandingan omset PPN dan PPh hasil Sunset Policy (biasa disebut ekualisasi omset), tidak bisa dijadikan dasar untuk menerbitkan tagihan pajak.

Itulah cerita yang penulis dapatkan dari lapangan. Pilihan memanfaatkan Sunset Policy atau tidak ada pada para pembaca sekalian. Tidak ada unsur pemaksaan. Tetapi tidak ada salahnya kita memanfaatkan kebijakan ini. Paling tidak, daripada nanti diperiksa, kemudian kena denda tinggi, lebih baik diperbaiki sekarang dan tidak akan kena denda serta dijamin tidak diperiksa. Tapi kalau ada diantara pembaca yang merasa dirugikan oleh aparat pajak, atau nanti ternyata kita dibohongi setelah melaksanakan Sunset Policy, kita laporkan saja mereka ke petugas hokum yang berwenang menindak mereka.

Demikian dulu gossip hari ini. Selamat mengamati masalah aktual berikutnya.
Wassalam.

Selasa, Agustus 05, 2008

KEBIJAKAN MATAHARI TERBENAM ( SUNSET POLICY )

Mungkin itulah kira-kira artinya, kalau kita melihat kamus. Sunset Policy! Ya, dua kata tersebut cukup sering terdengar di telinga kita, para wajib pajak, akhir-akhir ini. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah, dalam hal Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, seringkali mendengungkan masalah Sunset Policy ini.

Sebenarnya apa sih Sunset Policy ini?

Penulis telah beberapa kali berbincang dengan teman-teman yang kebetulan berdinas di kantor pajak, baik di KPP Pratama maupun KPP Madya. Kebetulan mereka telah beberapa kali mengadakan sosialisasi tentang Sunset Policy ini dengan dukungan dari Kantor Pusatnya. Menurut mereka, Sunset Policy ini adalah semacam kebijakan pengampunan pajak, yang berlaku selama setahun ini (sampai dengan Desember 2008). Pertanyaannya adalah, pengampunan yang seperti apa sih?

Kalau kita memperhatikan isi Pasal 37A Undang-Undang KUP yang baru tersebut, akan terlihat bahwa pengampunan tersebut diberikan atas dua hal, yaitu :
Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT PPh sebelum tahun 2007, yang hasil pembetulannya menambah jumlah pajak terutang, akan dibebaskan dari bunga keterlambatan pembayaran kekurangan pajaknya.
Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, akan dibebaskan dari pengenaan sanksi atas pajak yang tidak dibayar sebelum dia terdaftar sebagai wajib pajak dan tidak akan diperiksa.

Nah, sampai di sini penulis melihat bahwa program yang dicanangkan pemerintah ini memang dalam rangka memberikan kesempatan kepada para wajib pajak untuk memperbaiki kesalahan pembayaran pajak selama in, baik untuk wajib pajak baru maupun wajib pajak yang sudah lama terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.

Jadi mungkin arti dibalik nama Sunset Policy itu adalah kebijakan untuk membenamkan semua kesalahan di masa lalu (melalui mekanisme pembetulan dan pendaftaran baru), dan menyongsong terbitnya hari baru yang bebas dari kekeliruan di masa lalu.

Jakarta, 6 Agustus 2008

SALAM KENAL

Dalam era kemandirian bangsa, partisipasi masyarakat dalam dunia perpajakan sangat diperlukan, baik sebagai pembayar pajak, maupun sebagai stakeholder yang melakukan pengawasan atas penggunaan uang pajak.

Jaman dulu, di masa kekuasaan para raja dan kaisar, rakyat hanya diberikan beban membayar pajak (upeti) tanpa memperoleh hak untuk mengetahui digunakan apa upeti yang mereka bayarkan. Tetapi saat ini kondisinya sudah berbeda. Masyarakat yang membayar pajak bisa mengontol penggunaan uang, meskipun belum transparan benar.

Pembaca yang budiman, mulai hari ini saya akan mengaktifkan blog NGERUMPI PAJAK untuk menjadi sarana kita bertukar pikiran tentang dunia perpajakan di Indonesia. Isu paling hot saat ini adalah tentang sunset policy yang akan segera saya bahas dalam tulisan selanjutnya.

Salam kenal,

elang (pemerhati masalah perpajakan)