LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Kamis, Agustus 20, 2009

Menyoal Pajak Final Konstruksi

Harian Ekonomi Neraca , 19 Agustus 2009

Salah satu kiat pemerintah menutup anggaran adalah pengenaan pajak final pada jasa konstruksi. Namun pajak ini berpotensi mengurangi keuntungan emiten konstruksi. Pajak merupakan sumber pemasukan utama bagi negara, tak terkecuali Indonesia, untuk menutupi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dari tahun ke tahun senantiasa meningkat. Jadi wajar jika pemerintah pantang surut semangat dalam menggali berbagai potensi penerimaan pajak.

Salah satu upaya meningkatkan pendapatan pajak adalah dengan mengenakan pajak final pada para pengusaha jasa konstruksi. Inilah yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Usaha Jasa Konstruksi.

Dalam aturan teknis tersebut yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 187/PMK.03/2008 termuat berbagai Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan PPh atas Penghasilan Jasa Konstruksi. Dengan beleid dari Menteri Keuangan itu, Direktorat Jenderal Pajak pun akan menggali pajak dari para pengusaha jasa konstruksi lebih mudah.

Sekedar diketahui, dalam PMK ini, pemerintah mengenakan tarif PPh final yang berlaku bagi jasa konstruksi mulai 2% hingga 6%. Tarif 2 % untuk jasa konstruksi golongan usaha kecil. Sedangkan bagi usaha menengah dan besar, tarif PPh final 3%. Namun, bagi usaha menengah dan besar yang belum punya sertifikasi usaha akan terkena tarif 4%. Untuk kegiatan jasa perencanaan dan penga-wasan konstruksi, mereka yang bersertifikat usaha terkena tarif PPh 4%. Sedangkan tarif tertinggi sebesar 6%, bagi penyedia jasa perencanaan dan pengawasan yang tidak bersertifikat. Tentu saja penerapan pajak final konstruksi ini tidak mengenakkan bagi pengusaha, karena otomatis margin keuntungannya bakal terpankas. Tak heran ketika awal-awal sosialisasi pengenaan pajak final ini banyak pengusaha jasa konstruksi menolaknya. Alasan pengusaha konstruksi, peraturan ini kurang adil, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang. Selain itu, pengusaha menilai aturan ini tidak tidak memperhitungkan kerugian pengusaha jasa konstruksi setelah selesai mengerjakan proyek. Sebab,dengan peraturan ini, baik rugi atau untung semua akan kena pajak yang sama.

Selain itu, pengenaan pajak ini berpotensi mengurangi potensi keuntungan yang bakal diraih emiten dari insentif pajak sebagai perusahaan terbuka. Memang sebagaimana digariskan dalam PP No.81/2007 Tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang berbentuk Perseroan Terbuka, perusahaan yang menjual sahamnya ke publik hingga 40% akan mendapat insentif berupa pemotongan PPh badan 5% dari 30% menjadi 25%.

Sebelum pemberlakuan baru ini, perhitungan PPh badan mengacu pada perolehan laba perusahaan. Sementara itu, perhitungan pajak final akan mengacu pada perolehan pendapatan usaha. Nah, dengan demikian, logika saya, kalau kalau pajak final ini dikenakan, emiten konstruksi tentu saja tak menikmati potongan pajak 5%.

Saya sendiri kurang paham apakah pemberlakuan pajak final tersebut kemudian berakibat pada kinerja emiten atau tidak. Namun, lemyata hingga semester I-2009, para emiten konstruksi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), ternyata masih mampu membukukan kinerja relatif positif, terutama duo BUMN, PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk.

Apakah ini berarti pajak final ternyata tak terbukti memangkas laba emiten kosntruksi? Nampaknya kita perlu ditunggu hingga akhir tahun.

Tidak ada komentar: