LUNASI PAJAKNYA, AWASI PENGGUNAANNYA, BERSIHKAN PETUGASNYA
Blog ini belum terupdate kerena ada kendala teknis. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Regards. Elang.

Senin, Juli 27, 2009

PAK CIP MENGGANTIKAN PAK DARMIN SEBAGAI DIRJEN PAJAK BARU

Akhirnya teka-teki siapa pengganti Darmin Nasution sebagai Direktur Jenderal Pajak baru, terjawab sudah. Direktur Humas DJP Djoko Slamet mengkonfirmasikan bahwa pengganti Pak Darmin yang sekarang menduduki jabatan Deputi Senior Gubernur BI itu, adalah Muhammad Tjiptardjo. Menurut Djoko, Keputusan Presiden untuk menunjuk Pak Cip, panggilan Muhammad Tjiptardjo, sebagai orang nomor satu di Gatot Subroto 40-42 ini sudah ditanda tangani, dan rencananya yang bersangkutan akan dilantik besok siang.

Sebelumnya Pak Darmin mengatakan kepada wartawan, bahwa Menteri Keuangan sudah mengantungi tiga nama calon Dirjen Pajak baru dan sudah mengusulkannya kepada Presiden. Munculnya nama Pak Cip, yang sekarang masih menjabat sebagai Direktur Intelijen dan Penyidikan DJP ini, memunculkan harapan bahwa reformasi birokrasi pajak akan tetap terjaga kelangsungannya.

Semoga.......

Minggu, Juli 26, 2009

PENGECUALIAN KEWAJIBAN PEMBUKUAN UNTUK ORANG PRIBADI

By Elang

Dalam tulisan sebelumnya, saya menyebutkan adanya pengecualian dalam pelaksanaan kewajiban pembukuan, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (2) UU KUP.

Nah, biasanya, sesuatu yang dikecualikan, haruslah memiliki syarat atau kondisi tertentu. Misalnya, warga boleh tidak membayar biaya pengobatan jika sakit dan berobat ke puskesmas atau rumah sakit, dengan syarat yang bersangkutan miskin. Juga pelajar atau mahasiswa yang diberikan beasiswa atau keringanan pembayaran dengan syarat yang bersangkutan pintar dan atau kurang mampu secara finansial. Demikian halnya dengan masalah pembukuan ini.

Pada Pasal 28 ayat (2) UU KUP ada dua kriteria yang dikecualikan. Pertama adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Artinya, jika seluruh penghasilan seseorang diperoleh tidak dari suatu kegiatan usaha yang dilakukannya atau dari suatu pekerjaan yang tidak terikat pada suatu pemberi kerja, ia tidak wajib melakukan pembukuan. Misalnya, orang yang berprofesi hanya sebagai pegawai di suatu badan usaha tertentu, maka yang bersangkutan tidak wajib melakukan pembukuan. Tetapi jika pada saat yang sama ia juga memiliki sebuah usaha restauran, maka ia wajib melakukan pembukuan.

Pengecualian kedua adalah untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Maksudnya adalah, dalam menghitung penghasilan neto yang dijadikan dasar pengenaan pajak, seorang wajib pajak bisa menggunakan tarif khusus yang diatur oleh DJP. Jadi ia tidak lagi menghitung dengan pembukuan normal (Penjualan-Harga Pokok-Biaya +penghasilan lain-biaya lain). Namun untuk bisa menggunakan norma, harus memenuhi syarat khusus.

Di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007, yang boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah mereka yang memiliki penghasilan bruto tidak lebih dari Rp1.800.000.000,00 (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun. Kemudian peraturan ini disesuaikan melalui UU PPh (UU No. 36 tahun 2008). Dalam Pasal 14 ayat (2) nilainya berubah menjadi sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah), dan dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Artinya, kalau batasan tersebut terlampaui, atau batasan memenuhi tetapi tidak menyampaikan pemberitahuan, maka yang bersangkutan tetap wajib menyelenggarakan pembukuan.

Nah, kalau ternyata seseorang telah memenuhi syarat ketentuan untuk tidak melakukan pembukuan, apa yang harus ia buat? Tentu saja membuat pencatatan. Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pencatatan tersebut? Kita lanjutkan setelah yang mau lewat berikut ini…

Wassalam.

Rabu, Juli 22, 2009

KEWAJIBAN PEMBUKUAN

By Elang

Sebagaimana disinggung dalam beberapa artikel berita paska musim sunset policy yang lalu, kurang afdol rasanya jika tidak membahas mengenai pembukuan atau pencatatan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Tentu saja hal ini menjadi menarik, mengingat salah satu tujuan utama sunset policy adalah menjaring orang pribadi yang belum memiliki NPWP. Hal tersebut menjadi konsekuensi dari para wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan yang bersangkutan.

Sebenarnya, siapa saja sih, yang diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan? Banyak kawan yang menanyakan hal tersebut dalam beberapa perbincangan.

Sebelum membahas lebih jauh, lebih baik kita ketahui dulu definisi pembukuan menurut UU KUP kita. Dalam Pasal 1 ayat 29 UU KUP, disebutkan bahwa pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Definisi tersebut jelas menyatakan bahwa muara dari proses pembukuan adalah berbentuk laporan keuangan, yang tentu saja harus didukung oleh bukti-bukti yang memadai. Bukti-bukti transaksi yang mendasari pembuatan laporan keuangan tersebut pasti akan diminta oleh petugas pajak jika melakukan pemeriksaan pajak. Karena itu, seluruh bukti pendukung harus disimpan sampai batas daluarsa yang berlaku.

Lalu, kembali pada pertanyaan, siapa saja yang wajib membuat pembukuan?

Dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP, yang dinyatakan wajib melakukan pembukuan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia. Jelas bahwa seluruh pelaku usaha di Indonesia diwajibkan melakukan pembukuan. Bahkan dalam UU Perseroan Terbatas, perusahaan dengan kriteria tertentu wajib menyerahkan laporan keuangannya kepada akuntan publik untuk diaudit (Pasal 68 UU Perseroan Terbatas).

Namun terdapat pengecualian, yang tercantum di Pasal 28 ayat (2) UU KUP. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban pembukuan. Tetapi sebagai gantinya, mereka tetap wajib melakukan pencatatan.

Berarti ada dua kriteria yang dikecualikan, yang salah satunya adalah pengguna norma penghitungan penghasilan neto. Lalu, sampai batas manakah mereka yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan? Biar tidak terlalu capek membacanya, tunggu saja tulisan berikutnya.

Wassalam.

Selasa, Juli 21, 2009

Setelah Sunset Policy, Lalu bagaimana?

Detik Finance, 2 Juli 2009


Setelah euforia sunset policy berakhir, kini makin banyak wajib pajak orang pribadi yang mulai tersadar akan hak dan kewajiban perpajakkannya. Bahwa tidak hanya sekedar menyampaikan SPT (menghitung, menyetor dan melapor pajak), tetapi sekarang WPOP juga DITUNTUT untuk melakukan administrasi pembukuan yang memadai.

Apa yang dimaksud dengan administrasi pembukuan yang memadai ?

Administrasi Pembukuan yang memadai adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentang :
1. keadaan harta
2. kewajiban atau utang
3. modal
4. Penghasilan dan biaya
5. harga perolehan dan penyerahan barang/jasa yang terutang PPN, yang tidak terutang, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% dan dikenakan PPnBM.

Yang ditutup dengan menyusun Laporan Keuangan WP OP berupa Neraca dan Perhitungan Laba rugi pada setiap akhir Tahun Pajak.

WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib menyelengarakan pembukuan, kecuali bagi WPOP yang diperbolehkan menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, atau WPOP yg tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, hanya wajib melakukan pencatatan (confirm pasal 28 UU No. 28 Tahun 2007).

Pembukuan yang wajib dilakukan oleh WPOP setidaknya memuat semua mutasi harta, hutang dan penghasilannya serta perincian biaya , yang terjadi sepanjang tahun berjalan. Sehingga WP OP ybs dapat membuat tax and financial planning yang lebih baik untuk meningkatkan kemampuan ekonomisnya. Namun, tujuan utama dari tertib pembukuan adalah untuk mempermudah kepentingan proses pemeriksaan di bidang pajak yang semakin gencar dilakukan oleh DJP.

Terutama bagi semua WPOP yang terdaftar dalam KPP HWI, sebaiknya melakukan Pembukuan tanpa kecuali. Karena sepanjang tahun 2009 saja, target penerimaan dari pemeriksaan pajak bagi WP Besar OP sudah ditentukan oleh DJP dalam Lampiran XXXI Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-02/PJ/2009. Dan pemeriksaannya akan difokuskan terhadap WPOP :
a. Pemilik modal atau investor yang memiliki akumulasi nilai investasi di atas Rp. 500 juta;
b. Pengusaha restoran, bahan bangunan, dan bengkel sepeda motor dan mobil;
c. Konsultan hukum, dokter, dan notaris;
d. Selebritis dan tokoh masyarakat;
e. Pejabat dan mantan pejabat eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah;
f. Pejabat dan mantan pejabat yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
g. Pejabat dan mantan pejabat legislatif serta calon anggota legislatif, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.

Hanya undang-undang perpajakanlah yang mengatur kewajiban pembuatan pembukuan. Karena memang kantor pajak akan sangat membutuhkan catatan-catatan usaha wajib pajak atau pembukuan wajib pajak untuk menguji kebenaran laporan pajak.

WPOP menyelenggarakan pembukuan, bukanlah hal baru. Di negara maju seperti di Amerika, WPOP sudah terbiasa didampingi oleh personal accountant, tax consultant and legal consultant dalam mengatur keuangannya. Di Indonesia, trend ini baru mulai dilakukan oleh kalangan socialite, dan beberapa pengusaha yang menginginkan keamanan dan kepastian hukum dalam kegiatan bisnisnya. Karena begitu pentingnya, wajar saja bila berbagai urusan pembukuan langsung diserahkan kepada ahlinya, dan disarankan untuk memilih perusahaan konsultan yang bisa dipercaya, memiliki reputasi yang baik, dan selalu dapat memberikan solusi atas permasalahan pajak yang dihadapi oleh WP OP.

Di era transparansi, apakah pengusaha/WP OP di negara berkembang seperti Indonesia akan mengikuti trend ini juga? Kita lihat saja nanti

Senin, Juli 20, 2009

Kepatuhan Wajib Pajak Badan Ditelusuri

Suara Merdeka, 16 Juli 2009


JAKARTA-Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan akan memperketat data wajib pajak (WP) badan melalui sistem profiling dan benchmarking.
Hal ini dilakukan untuk mengukur tingkat kepatuhan pembayaran pajak WP badan. Hal itu diungkapkan Dirjen Pajak Depkeu Darmin Nasution di Jakarta, Rabu (15/7).

”Kita sudah buat aplikasi program yang memungkinkan profiling dan benchmarking menyatu dengan sistem informasi kita,” katanya.

Darmin menjelaskan, data wajib pajak (profiling) dan acuan penerimaan pajak (benchmarking) akan digunakan untuk mengukur kewajiban WP badan membayar pajak. Rencananya, mulai 1 Agustus mendatang, Ditjen Pajak akan melakukan sosialisasi sistem tersebut. Namun, pelaksanaan baru dilaksanakan secara resmi pada 2010.

”Ke depan kita akan lebih cermat mengetahui setiap WP, di bagian mana kira-kira kalau mau sembunyikan pembayaran pajak. Itu kan caranya bisa macam-macam,” ungkap Darmin.

Pasalnya, dalam benchmarking Ditjen Pajak mempunyai data pasti kewajiban WP diantaranya PPh pasal 25 (badan), PPN, PPh Pasal 21 (orang pribadi), PPh Final, hingga bunga sewa.

Menurutnya, ketika sistem berjalan Ditjen Pajak akan mengetahui siapa WP yang mangkir dari kewajiban pajaknya di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) bersangkutan.
Aparat Pajak Darmin menambahkan, sistem ini juga bisa mengukur tax avoidance (penghindaran pajak) yang dilakukan WP. ”Kalau sudah total semua benchmarking bisa terukur tax gap-nya, kekurangan pajak yang belum dikumpulkan baik menurut KPP, jenis pajak, dan sektor,” ujarnya.

Darmin tidak menyebutkan secara pasti tax gap-nya sebelum sistem tersebut resmi berjalan. Ia mengakui kekurangan bayar pajak juga dikarenakan aparat pajak itu sendiri.

”Prosesnya adalah tarik menarik bagaimana WP secara bertahap makin benar bayar pajaknya. Sehingga mereka makin mengurangi upeti yang mereka berikan ke mana-mana,” katanya.

Kendati demikian, tambah Darmin, sistem tersebut baru akan dilakukan pada WP badan yang jumlahnya 1,5 juta WP dari total WP sekitar 14 juta. Sementara sisanya yang merupakan WP orang pribadi (OP) akan dirumuskan dengan sistem yang berbeda.

”Kalau OP belum ada model yang baku untuk mengukurnya. Paling-paling mulai dengan bentuk HWI (high wealth individual) dan mempelajari berapa harta dia, perusahaan, modal dan aset-aset yang lain kemudian berapa pembayaran pajaknya. Mulai kita bandingkan satu sama lain para orang-orang terkaya kita ini,” papar Darmin.

Minggu, Juli 19, 2009

Penggunaan SPT Elektronik

Assalamualaikum.

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 6/PJ/2009 yang ditetapkan tanggal 20 Januari 2009, seluruh wajib pajak yang terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kanwil Khusus dan WP besar, diwajibkan menggunakan SPT dalam bentuk elektronik. Bagaimana kesiapan teman-teman dalam menggunakan SPT elektronik yang biasa disebut dengan eSPT ini?

Beberapa saat lampau, saya bertemu dengan seorang kawan yang kebetulan menjabat sebagai manajer di salah satu perusahaan besar di negeri ini. Beliau kebetulan baru saja mengikuti pelatihan eSPT di salah satu KPP Madya di Jakarta. Beliau mengatakan bahwa secara umum, eSPT tidak menyulitkan, bahkan sedikit mempermudah timnya dalam melakukan pelaporan ke KPP. Hanya saja, karena eSPT adalah barang yang relatif masih baru untuk beliau dan timnya, maka perlu melakukan penyesuaian dan pengenalan lebih dulu.

Dalam pengamatan saya, eSPT ini memiliki beberapa kelebihan sekaligus beberapa kekurangan. Kelebihan eSPT berdasarkan catatan saya adalah, simpel dalam pelaporan karena tidak perlu membawa banyak dokumen saat melapor di KPP, data pajak perusahaan lebih tersimpan rapi karena berada dalam satu database pelaporan, pengisian data ke dalam eSPT juga tidak rumit dan bisa dilakukan oleh orang yang baru menguasai komputer sekalipun. Kemudian, enkripsi file yang dilaporkan ke KPP membuat data hanya bisa dibuka oleh petugas yang berarti menghindari bocornya data yang bersifat rahasia tersebut ke tangan orang lain, dan terakhir penghematan kertas sekaligus menyelamatkan bumi ini dari ancaman pemanasan global.

Kekurangan eSPT antara lain, perusahaan harus membeli unit komputer untuk keperluan ini (tambahan pengeluaran..!), apalagi belum seluruh eSPT bisa multi user atau bisa digunakan untuk beragam perusahaan dalam satu komputer. Lalu, seringkali terjadi gagal load pada saat lapor di loket KPP, seperti yang pernah terjadi pada beberapa kawan yang sudah lebih dulu menggunakan eSPT. Apalagi kalau sampai listrik padam, nah lo...? Berikutnya adalah, eSPT hanya bisa digunakan di komputer yang berbasis sistem operasi Windows, yang berarti kawan-kawan yang menggunakan sistem operasi gratisan tidak bisa menggunakan eSPT di komputernya. Alhasil, yang bersangkutan harus mengeluarkan biaya tambahan membeli Windows (apa ada kerjasama khusus antara DJP dengan Bill Gates ya??? Wallahualam...). Tetapi anehnya, dengar-dengar dari beberapa sumber, Windows Vista malah tidak bisa mendukung software eSPT ini. Aneh juga ya...

Tetapi, kelebihan dan kekurangan tersebut merupakan dinamika dalam sebuah perubahan. Kita harapkan bersama bahwa perubahan yang terjadi di DJP adalah perubahan menuju sebuah kebaikan, termasuk kebijakan untuk merubah metode pelaporan dari sistem manual ke sistem eSPT. Dengan sistem yang terkomputerisasi ini, berarti tidak ada lagi data yang berbeda antara wajib pajak dengan petugas pajak, karena semua sudah terekam dalam file yang dilaporkan ke KPP.

Dalam menghadapi sistem baru ini kedepan, saya memiliki beberapa tips yang mudah-mudahan bisa meringankan beban teman-teman dalam melakukan pelaporan pajak. Tipsnya antara lain :

  1. Isikan eSPT dengan benar, sehingga tidak ada masalah di kemudian hari.
  2. Usahakan melakukan pelaporan ke KPP sebelum hari-hari terakhir, untuk menghindari antrian panjang, sekaligus menghindari resiko terlambat jika terjadi gagal load karena alasan apa pun.
  3. Tetap berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan AR Anda di KPP, selain membaca peraturan baru , sehingga pengetahuan perpajakan Anda tetap terupdate.
  4. Jangan dulu menggunakan komputer yang bersistem operasi Windows Vista sampai ada lampu hijau dari KPP untuk menggunakannya.
  5. Jika mengutus orang untuk melapor ke KPP, usahakan kurir tersebut mengerti tentang pajak atau komputer, sehingga jika ada kendala di KPP, pesan atau penjelasan dari pihak KPP dapat sampai kepada Anda dengan baik. Jika tidak, solusi atas masalah Anda tersebut tidak akan pernah Anda peroleh.

Demikian tulisan saya kali ini (setelah sekian lama tidak posting karena beberapa kesibukan). Mudah-mudahan bermanfaat.

Wassalam.